Judul : The Courage to be Dislike (Berani tidak Disukai)
Penulis : Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2019
ISBN : 978-602-063-3321-3
Rating : 4.05/5
"Tidak ada pengalaman yang dengan sendirinya menyebabkan keberhasilan dan kegagalan kita. Kita tidak ditentukan oleh pengalaman kita, namun arti yang kita berikan pada pengalaman-pengalaman itu menentukan dengan sendirinya" (hlm.13).
Sudah sebulan berlalu dan saya belum kembali mengunjungi toko buku untuk membeli bahaan bacaan baru. Hasrat untuk membaca buku baru sudah ada, pun dengan biaya yang dibutuhkan untuknya, akan tetapi malas sekali rasanya untuk mengajak tubuh ini pergi kesana. Alhasil saya pun meminjam buku pada teman saya sembari mengumpulkan niat untuk pergi. Kecintaan teman saya pada buku-buku logika dan pengembangan diri membuat saya tertarik untuk ikut mencobanya. Awalnya saya ingin sekali memimjam buku "Segala-galanya Ambyar" karya Mark Mansion. Namun sayangnya buku itu sedang dipinjam oleh pacarnya. Walaupun begitu, dia langsung merekomendasikan buku ini pada saya. Buku yang selama membacanya serasa ditampar dan diteriaki karena problemnya identik sekali dengan kepribadian yang saya punya.
Baiklah tanpa basa-basi lagi mari kita mulai masuk ke dalam sesi ulasan bukunya.
Buku yang ditulis oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koge ini berisikan tentang penjelasan buah pemikiran seorang psikolog bernama Adler dalam memandang permasalahan-permasalahan psikologis manusia. Pada sinopsis di cover belakangnya dituliskan bahwa buku ini menyajikan jawaban untuk kita yang seringkali menghakimi dan membandingi diri sendiri dengan orang lain. Melalui teori teleologi-nya kita akan diajak untuk lebih mencintai diri sendiri.
Sejak pertama kali saya membaca sinopsisnya, saya mengira bahwa buku ini akan penuh dengan definisi teori Adler yang begitu kaku untuk dibaca. Namun setelah mulai membacanya, saya salah besar karena ternyata penulis menggambarkan teori-teori yang didapatnya melalui diskusi antara pemuda dengan seorang filsuf. Jadi, penyampaian materi diberikan melalui percakapan kasual yang membuat kita dapat dengan mudah memahami isinya.
Pada bagian selanjutanya, saya akan mencoba merangkum beberapa bagian yang paling relatable dengan kehidupan yang saja jalani dan barangkali juga kehidupan kalian.
Trauma is Bullsh*t
Secara mendasar, teori Adler membantah teori psikologi "sebab-akibat" milik Freud. Pada teori Freud menyebutkan bahwa keadaan manusia saat ini merupakan hasil dari kejadian-kejadian masa lalu. Sebagai contoh, seorang anak bisa memiliki sifat nakal karena hubungan orangtua yang tidak harmonis, atau lebih singkatnya seseorang bisa menderita trauma karena masa lalunya. Sebaliknya, Adler justru berpendapat bahwa masa lalu tidak ada kaitannya dengan masa sekarang sehingga tidak ada yang namanya trauma mendalam. Padangan ini menurut saya cukup ekstrim dan juga baru, karena pada kenyataannya kita tentu tidak luput dari yang namanya kejadian sebab dan akibat.
Alih-alih menghubungkan antara sebab dan akibat, Adler justru memandang sebuah permasalahan hidup yang dialami seseoarang di masa kini bukan karena masa lalunya akan tetapi lebih kepada bagaimana seseorang tersebut memaknai masa lalunya. Hal itu menandakan bahwa kita sebagai pribadi mempunyai kekuasaan penuh atas diri kita sendiri. Sayangnya, kita seringkali lupa akan dasar tersebut dan mengangap semua permasalahan yanga ada saat ini adalah hasil dari kejadiaan masa lampau. Mungkin lebih sengkatnya seperti ini, kita tidak bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi lantas mengapa kita terus memikirkan peristiwa-peristiwa masa lalu, daripada memikirkan masa lalu lebih baik memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk hari ini.
Berhenti mencemaskan kekurangan dan fokus pada kelebihan
Selanjutnya adalah tentang kecemasan terhadap kekurangan yang dimiliki oleh manusia. Kita tentunya pernah ada di fase merasa minder karena kekurangan yang kita miliki, misalnya wajah berjerawat, badan kurus, tidak bisa masuk keperguruan tinggi negeri, dan masih banyak lagi. Menurut teori psikologi Adler fenomena ini disebut dengan perasaan inferior. Lebih singkatnya perasaan inferior ini adalah kecenderungan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Fakta yang paling nyata ketika kita sedang diselimuti oleh perasaan inferior adalah terlalu berfokus pada objektifitas yang kita miliki. Mungkin saya akan menjadikan diri saya sebagai contohnya dikasus ini. Waktu itu, saya gagal masuk ke perguruan tinggi negeri dan memutuskan untuk memilih perguruan swasta. Lalu saya melihat teman-teman saya yang berhasil masuk perguruan tinggi negeri dan mulai mencemaskan diri saya karena kemampuan akademik yang kurang dengan mereka. Di dalam kasus ini, kegagalan saya untuk masuk perguruan tinggi negeri adalah fakta, akan tetapi saya menilai diri saya terlalu jauh sampai tidak menyadari bahwa penilaian tersebut hanyalah penilaian subjektif yang saya berikan pada diri saya sendiri. Nah daripada saya mencemaskan kekurangan, langkah yang lebih baik adalah dengan berfokus pada nilai atau kelebihan yang saya punya dan mulai berpikir apa yang bisa saya kembangkan dari kelebihan yang saya punya.
"Kita tidak bisa mengubah fakta objektif, tapi penafsiran subjektif bisa diubah sesering yang kita inginkan" (hlm.66)
Jadi mulailah untuk menilai diri kalian ke arah yang positif. Walaupun terkesan bersifat subjektif, setidaknya hal itu lebih baik daripada harus mencemaskan diri secara berlebihan.
Fatamorgana Pujian
Penyelesaian Masalah
Ketiga bagian yang sudah saya sampaikan sebelumnya adalah hanya sebagian kecil dari nasihat Adler, masih banyak tentunya yang dapat kita temui seputar permasalahan diri dibuku ini. Tidak hanya menyediakan nasihat-nasihat saja, buku ini juga memberikan penyelesaian masalahnya. Jika dirangkum penyelesaian masalah tersebut dibagi menjadi dua tahapan, yaitu memahami hubungan interpersonal yang sehat dan pembagian tugas-tugas kehidupan. Akan tetapi, saya tidak menjelaskan hal tersebut secara rinci dan membiarkan kalian kesan penasaran di buku ini. So, have a enjoy reading.
Itulah beberapa ulasan singkat yang dapat saya berikan mengenai buku "The Courage to be Disliked". Mohon maaf apabila ada salah dalam pemilihan kalimat. Akhir kata, Saya ucapkan terima kasih bagi kalian yang sudah mampir di blog ini. Sekian
Salam
Posting Komentar
Posting Komentar