Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen 'Suara Hening di Surau'


Image by Sharon from Pixabay

Suasana sepi disaat jam sudah menunjukan pukul 10.00 pagi yang dimana seharusnya pada pukul tersebut orang-orang sudah berkeliaran entah mencari bahan-bahan pangan untuk disantap siang nanti atau hanya sekedar olahraga berkeliling kampung. Akan tetapi, jalan yang biasanya ramai dilewati lalu-lalang kendaraan kini hanya digantikan dengan suara riuh sahut-menyahut kokok ayam dan hanya terlihat satu dua orang yang lewat menggunakan masker di wajahnya. Seminggu  sudah kegiatan warga desa di bungkam oleh makhluk kecil mematikan bernama virus, warga-warga mendekam karena ketakutan karena betapa berbahayanya makhluk ini dengan kemampuan berkembangbiaknya yang cepat jika sudah menemukan inang.
Di tengah sunyi kudengar suara sayup-sayup bunyi sirine dan riung mobil, suaranya mendekat dan semakin mendekat semakin keras suaranya.  Merasa penasaran lantas kubuka tirai jendela dan mengintip keluar, kulihat kepala desa dengan di dampingi polisi  berbadan tegap lengkap dengan atribut serta beberapa jajarannya berdiri di atas mobil Pick up di susul suara imbauan dari petugas menggunakan Toa yang suaranya sangat menusuk gendang telinga.
Assalammualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh... selamat pagi semuanya. semoga kalian dalam keadaan sehat. Kami dari kepolisian mengimbau agar kalian tidak berkeliaran jika tidak ada kepentingan yang darurat dan mohon untuk tidak membuat acara yang melibatkan orang banyak. Kami tidak akan segan membubarkannya jika kedapatan ada yang melanggar.
Satu hal lagi yang perlu diketahui untuk para kaum muslim di Imbau untuk tidak solat berjamaah di masjid.
Sial.. kata-kata terakhir membuatku menjadi gusar padahal aku anak muda yang jarang berkunjung ke masjid ini, ingin sekali mencoba salat berjamaah di masjid dan sekarang masjidpun harus di tutup untuk umum. Setelah aku dalami kata-kata peringatan tadi, sepertinya masih ada kesempatan untuk berkunjung ke masjid sebab kata terakhir hanyalah imbauan sehingga masih bisa sedikit di langgar. Mungkin rencana ini akan membuat tetangga dan warga sekitar mengeluarkan omongan sampahnya. 
"Dasar muslim gila, Sudah tau sedang wabah dia malah ibadah bersama-sama"
"Muslim ekstrimis, jangan-jangan dia teroris"
"Bisa-bisanya Mereka solat dalam keadaan seperti ini. apa mereka tidak punya akal ?"
"Sok suci"
Kata-kata yang tidak asing dikehidupanku. Bahkan tak sedikit juga kata-kata itu keluar dari kalangan sesama muslim.
Terlalu banyak orang berkata-kata tanpa mau mendalami lebih lanjut masalahnya.
~~~
Kini waktu telah singgah pada pukul 11.50. Hanya kurang dari 15 menit saja adzan akan berkumandang. Aku telah memutuskan secara matang untuk pergi kemasjid untuk salat berjamaah. Tak bisa ku bendung lagi keinginan ini dan entah ada angin apa tiba-tiba keinginan ini semakin kuat, padahal sangat jarang sekali Aku mengunjungi masjid untuk salat berjamaah, terakhir tubuhku menyentuh rumah suci itu adalah bulan ramadhan tahun kemarin saat salat Idul Fitri itupun setelah khatib aku langsung pulang. Astaga.. betapa tidak seriusnya aku dalam beribadah. Semoga saja ini adalah hidayah Allah untukku sebagai sarana pengingat.
Sengaja aku pergi ke rumah suci itu dengan menggunakan pakaian main, Jeans dengan tambalan bordir di lututnya serta kaos oblong berwarna hitam supaya tidak di curigai tetangga dan warga.
Selama perjalanan menuju masjid banyak orang yang memperhatikanku secara sinis dan waspada. Mulai dari Ibu-ibu yang sedang menjemur, bapak-bapak yang sedang meronavasi rumahnya. Walupun mulut mereka di tutupi masker tetap saja mata mereka tidak bisa berbohong. Mata memang indra yang tak pernah menyembunyikan kebenaran.
Sial..banyak sekali mata yang memperhatikanku. Ingin beribadah saja harus diperhatikan seperti buronan tahanan. Memang tidak tepat ibadah berjamaah di saat seperti ini tapi tolonglah aku ingin sekali, mohonlah dimaklumi.
"Asyhadualla ilahaillallah"
Aku terhenti di pintu masjid saat mendengar lafadz syahadat itu dilantunkan. Betapa merinding tubuhku. Mungkinkah ini sambutan-Nya ?.
Kubuka daun pintu dengan ragu dan kini tubuhku sudah sepenuhnya di area masjid.Tak menyangka kini tubuhku menginjakan kaki di rumah suci ini setelah sekian lama. Suasananya sedikit berbeda dari suasana luar, sunyi dan sejuk. Serasa berada di alam yang berbeda, mungkin karena ini tempat suci.
Di depan kulihat seorang Muadzin tengah berdiri memakai gamis berwarna putih bersih, tengkuk lehernya sedikit coklat legam dan tubuhnya sebanding dengan tubuhku mungkin lebih tinggi 10cm. Suaranya merdu. Aku teringat kisah Bilal bin Rabbah.

"Hayyaalasholah"
Ditengah kemerduannya, kudengar sedikit suara serak dan tangan kanannya tergetar sesudah melantunkan lafadz tersebut. Dari belakang kulihat Sang Muadzin muda itu menutup mic supaya isak tangis sedihnya tidak terdengar kepenjuru desa lalu Ia mengusap air matanya sambil memantapkan diri kembali untuk melantunkam lafadz selanjutnya.
Setelah selesai adzan muadzin itu melaksakan shalat sunnah. kulihat gerakanya sangat teratur dan tak terburu-buru. Sujud demi sujud ia lakukan dengan lama sambil sesekali kudengar bekas isak tangisnya yang coba Ia tahan.
"Silahkan Iqommah,Mas. Biar saya yang jadi Imam". Ujar Muadzin muda
Kami melaksanakan shalat Dzuhur berdua.
~~~
Tubuhnya kini menghadap kearahku, sedikit menyerong dan sekarang aku dapat melihat wajahnya yang kecoklatan. Wajah yang bersih barangkali terlalu sering membasuhnya dengan air wudhu. Matanya sedikit merah dan kantung matanya sembab akibat dari bendungan tangisnya.
"Tidakkah kamu merasakan pertanda ini wahai kawanku ?" Ujar Muadzin yang sekarang merangkap menjadi Imam. Tatapannya kosong mengarah ke sisi lain.
Aku hanya terdiam tak berkata. karena tak mengerti maksudnya.
"Sekarang masjid sudah begitu sepi dan sunyi kawan. Bukankah ini salah satu pertanda-Nya ?" Lanjut sang Muadzin.
Aku masih terdiam menundukan kepala. Sekarang Aku paham dia sedang berbicara tentang hari akhir.
"Kemarin Mereka bisa saja menafikan bahwa masjid masih ada penghuninya dan hari akhir masih begitu jauh waktunya" Suaranya mulai serak.
"Tapi sekarang masjid benar-benar mati kawanku. Beralasan bahwa penyakit ini sungguh berbahaya lantas mereka acuh terhadap masjid. Tidak bisakah mereka mencari jalan keluar lain, selain mengimbau tak mengunjungi masjid. Bukankah kita diberi akal yang begitu sempurna ? dan Ku dengar mereka masih bisa memikirkan Ekonomi, memikirkan segala upaya supaya tidak krisis. Lantas kenapa mereka tidak menyisihkan pikirannya untuk rumah suci ini ".
"Mungkin ini jalan yang terbaik kawanku" Jawabku.
"Kenapa dulu mereka tak bisa menyempatkan mengunjungi tempat suci ini, barangkali 10 menit saja . Aku terkadang merenung, kepada siapa mereka akan bercerita keluh kesahnya ketika manusia tak lagi peduli ?".
Aku terdiam kembali, kali ini bukan karena tak paham. tapi tamparan ini sungguh nyata untukku.
"Sehari setelah di imbau untuk tak beribadah bersama di masjid. Seketika masjid benar-benar kehilangan auranya. Sedangkan tempat perbelanjaan masih saja ramai dikunjungi. Bisakah kau menjelaskannya kepadaku wahai kawanku ?" Mata muadzin tadi mulai berkaca-kaca memantulkan kerlip-kerlip kecil dari matanya.
"Maaf kawan aku tak bisa menjawabnya"Ujarku.
"Aku belum siap kawan, bilamana hari akhir menghampiri. Betapa kurang Amalku saat menghadap-Nya" Airmatanya jatuh tak terbendung mengalir di ruas-ruas pipi dan jatuh ke ubin masjid yang dingin.
Aku terdiam dan merasa kata-kata itu sudah menjelma menjadi pukulan batin.
Muadzin itu beranjak dari duduknya. pergi kearah rak buku yang berisi Al-Quran di sisi masjid dan mengeluarkan sebuah sapu tangannya.
"Berkenankah kau membantuku membersihkannya kawan"
Aku menghampiri muadzin dan kukeluarkan sapu tangan di kantung jeans.
"Karya sastra paling indah ini. Sekarang juga sudah mulai terbengkalai. Lihatlah, berdebu dan tak terurusnya Pusaka kita kawan"
Air matanya jatuh tepat dipermukaan Al-Quran.

Aku terdiam lagii.
"Kalau saja ia diberi nyawa, barangkali ia akan menangis sepertiku".
Ia beranjak pergi lagi, kali ini ketengah ruangan. Aku terheran memperhatikannya. Cerita haru apalagi yang akan dia ceritakan. Belum puaskah ia memukul batinku.
"Dulu aku berdiri di sini, mengamati anak-anak kecil solat berjamaah supaya mereka tak bercanda, gerakan mereka masih tak teratur dan ketika Al-Fatihah selesai dilantunkan mereka berlomba berteriak aamiinn, betapa lucunya mereka" Ujar Muadzin muda, kali ini mulai menunjukan senyumnya. 
"Aku tak pernah memarahi mereka,  sungguh senang hatiku ketika masjid ini hidup karenanya. Sangat disayangkan kini mereka menghilang sedikit demi sedikit karena orang tuanya memberi telpon canggih terlalu dini".
Lalu pergi kearah papan tulis di sebelah pojok belakang Masjid. Aku merasa benar-benar di ajak berkelana menjelajahi masa jaya masjid ini oleh sang muadzin muda.
Ia memegang papan tulis kapur itu dan memandanginya. Mencoba menerka-nerka.
"Dulu mereka belajar disini, berkumpul dan mendengarkan kiyai menjelaskan huruf hijaiyah dan tajwid-tajwid bagi kalangan remaja"
"Aku ingin masa lalu itu kembali menjelma di sini".
Lebih baru Terlama

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter