Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen 'Petaka China'

  
  
Image by Pexels from Pixabay
  Semburat jingga sudah meredup dan gelap semakin nyata menggatikannya. Mungkin di Pulau sebrang sana lampu-lampu sudah mulai dinyalakan, akan tetapi aliran listrik tak mampu mengalir sampai ke sebuah pedesaan terpencil di pinggiran pulau Kalimantan, hal itu membuat Ghani harus menyalakan sebuah lampu petromaks untuk menerangi ruang kosong disekitarnya. Ia bersandar pada salah satu sisi dinding rumahnya yang terbuat dari papan kayu sembari menunggu air yang sedang ia masak dibagian belakang rumah. Disela-sela persandarannya, ia meluruskan kaki dan memijat-mijat tangannya, sekedar memberikan refleksi pada otot-ototnya setelah hampir setengah hari ia berurusan dengan karung-karung yang berisi pakan ternak.
  Air yang ia masak kini sudah mendidih dan Ghani segera memakainya untuk menyeduh teh manis sebagai teman makan bersama singkong rebus. Saat sedang mengaduk teh yang sedang ia buat, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Suara ketukannya sungguh cepat seperti orang dengan keperluan sangat penting. Siapakah gerangang yang mencarinya dimalam hari seperti ini, ungkapnya dalam batin. 


“Ghani..” Tungkas seorang lelaki yang seumuran dengannya.
“Aji ?, ada perlu apa malam-malam seperti ini ?” Tanya Ghani.
“Ada yang perlu aku kasih tau ke kamu” Ujar Aji.
“Baiklah, silahkan masuk dulu”.

   Karena air yang tadi Ghani masak masih hangat, maka ia menyeduhkan secangkir teh manis untuk diserahkan kepada Aji sebagai jamuan tamu. Lalu, Di bawah lampu petromaks yang cahayanya temaram, Aji menjelaskan maksud kedatangannya ialah untuk menawarkan Ghani bekerja di luar negeri, lebih tepatnya bekerja sebagai buruh nelayan di negeri tirai bambu. 
“Jadi, itulah alasanku datang kesini” Kata Aji.
“Kenapa mendadak sekali ?, lalu bagaimana bisa kesana kalau kita sendiri tidak mahir berbahasa mandarin ?”Tanya Ghani, kali ini ia mulai cemas.
“Itu urusan mudah, teman. Sekarang ini yang terpenting adalah bagaimana caranya supaya kita bisa hidup lebih baik dengan penghasilan yang baik pula. Aku sudah tak tahan lagi tinggal di pinggiran Indonesia , Ni.”
“Tapi ini sungguh mendadak, Ji dan aku harus mengabari keluargaku terlebih dahulu. Minimal mereka tahu ” Ujar Ghani. 
“Baiklah, aku kasih waktu tiga hari untuk mengabari kedua orang tuamu”.
  Aji menyeruput teh manis yang dihidangkan oleh Ghani, memberi waktu beberapa detik untuk membiarkan airnya turun ke perut, setelah itu ia langsung beranjak dari duduknya dan segera pergi lewat pintu yang sedaritadi terbuka. 
“Ingat,Ni. Demi hidup yang lebih baik” Ujar Aji di perbatasan pintu.
  Pintu tertutup dan Aji telah pergi, meninggalkan suasana sunyi. Sementara Ghani masih menatap daun pintu dengan tatapan kosong.
  Ada kecemasan yang bersarang di dalam batin Ghani. Di rumahnya yang sempit, ia merebahkan tubuhnya sembari membayangi tentang ajakan temannya untuk bekerja diluar negeri. Perkataan Aji tadi memang ada benarnya, jika hidup di negeri sendiri susah maka ini kesempatannya untuk mencari pundi-pundi rezeki yang lebih baik di negeri lain dan barangkali dengan bekerja disana ia dapat mewujudkan cita-citanya, yaitu memberangkatkan orang tuanya ke tanah suci mekkah.
 Kini, Cemas dan bayangan impiannya bercampur aduk. Dengan mata tertutup ia mencoba mempertimbangkan baik dan buruknya. Belum sampai pada tahap kesimpulan, ia sudah tidur dengan pulas.
  Pada keesokan harinya saat waktu masih pagi sekali, entah dapat hidayah darimana, tiba-tiba ia sudah dapat keputusan yang bulat. Dan pilihanya adalah ia akan menerima tawaran temannya untuk pergi menjadi TKI di negeri Cina. Keputusan yang telah ia peroleh tidak semata-mata membuatnya bolos bekerja. Dengan menggunakan sepeda ontel yang ia miliki, Ghani bergegas pergi bekerja di sebuah pasar yang tak jauh dari rumahnya. 
  Sekiranya, ada 15 karung pakan ternak yang harus ia pindahkan ke gudang hari ini. Ia diberi upah lima ribu rupiah untuk setiap karungnya. Gerak tubuhnya begitu mahir memikul karung-karung ternak itu, padahal berat karung yang ia angkut bisa mencapai 35kg dan semua itu harus ia selesaikan dengan cepat, sebab ada urusan penting yang harus ia laksanakan, yaitu mengabari kedua orang tuanya perihal keputusan yang telah ia ambil. 
  Hanya perlu waktu satu jam bagi Ghani untuk memindahkan semua karung-karung itu. Usai menyelesaikan pekerjaanya, ia segera meraih ponsel Nokia jadul disakunya lalu menekan nomer Ibunya. Ini merupakan kesempatan untuk memberi kabar kepada ibunya, sebab hanya disini sinyal dapat diraih.
  Nada dering telah berbunyi, menandakan masuknya panggilan ke nomor yang dituju.
Halo. Ada apa, nak ?
“Apa kabar, Bu ?. Ibu sehat ?” Ujar Ghani dengan nada sedikit bergetar.
“Alhamdulillah, baik, nak. Kamu disana sehat juga kan ?”
“Sehat selalu, Bu. Ghani mau memberitahu sesuatu bu”
Oh, memangnya ada apa, nak ?”
“Ghani ingin menjadi TKI di China, bu. Maka dari itu Ghani ingin meminta restu dari ibu”.
Lho, kok tiba-tiba kamu ingin jadi TKI ? memangnya disana kamu belum dapat kerjaan ?”
“Sudah, bu. Tapi Ghani ingin mendapat gaji dengan upah yang layak, supaya bisa kasih ibu uang dan memberangkatkan ibu haji” suaranya mulai serak karena menahan sedih.
Oalah, Ibu jadi terharu sama kamu, kalau begitu ibu izinkan kamu untuk pergi kesana, tapi kamu harus hati-hati,ya di sana. Itukan negeri orang kamu harus taat dan jangan buat malu Negara Indonesia. Jaga diri dan kesehatan juga, Ibu hanya bisa bantu doa dari sini”.
“Baik, bu. Doakan Ghani selalu, ya. Beritahu bapak juga”

  Setelah selesai mengabari ibunya lewat telepon, barulah ia segera kembali pulang. Membawa uang tujuh puluh lima ribu beserta keputusan yang telah bulat untuk diberikan kepada Aji. 

~ ~ ~
  Tiga bulan sudah Aku mendapatkan pelatihan tentang bahasa dan budaya negeri tirai bambu. Bagiku itu sudah cukup menjadi bekal untuk bertahan hidup disana dan aku rasa Ghani pun sudah mahir pula, walaupun terkadang masih terlihat bingung. Tak kusangka hari Jumat ini tepatnya bulan Maret jam 05.30 WITA, Aku dan Ghani beserta 14 WNI akan di berangkatkan ke China untuk menempuh jalan hidup baru. Perjalanan panjang akan aku lalui dengan kapal, mungkin berminggu-minggu untuk sampai ke sana. Barangkali akan banyak cuaca badai kulewati dan semua itu akan kukumpulkan sebagai latihan fisik untuk beradaptasi ditempat kerja yang baru. Bisa jadi di sana nanti akan lebih banyak tantangan lagi, tak cuma badai. mungkin aku akan berhadapan dengan segala permasalahan mesin dan struktur kapal. 
  Ternyata April adalah bulan yang di hendaki-Nya untuk sampai di pelabuhan Busan, China. Puji Tuhan kami semua dapat dengan selamat menginjakan kaki di China. Aku, Ghani dan 14 WNI langusung di alihkan kesebuah tempat perusahaan yang tak jauh dari pelabuhan utnuk mengurus kelengkapan dokumen. 
  Sesampainya di sana aku langsung dihadapkan dengan surat perjanjian kontrak dengan perusahaan penangkapan ikan. Setiap dari kami wajib mengisi form tersebut. Kulihat di salah satu bagian pada kertas terdapat angka yang cukup besar dalam bentuk mata uang dollar. Di sela-sela pengisian tersebut juga aku menyempatkan melirik wajah Ghani dan ternyata sepucuk senyum gembira terlihat dari dirinya. 
  Setelah pengisian formulir tersebut kami semua langsung dibentuk sebuah tim, sungguh beruntung karena semua WNI masuk kedalam satu tim dan itu merupakan sebuah nilai plus dalam berkomunikasi nanti. Walaupun ada penambahan tujuh orang kru asli warga China aku tetap bersyukur. Dengan begitu, secara total kami berjumlah dua puluh tiga ABK. Rencananya kami semua akan ditempatkan pada satu kapal bernama China Cost. Kapal tersebut akan berlayar ke Samudra Hindia dan laut Cina untuk mencari ikan. Setelah pembentukan tim barulah kami mengistirahatkan diri untuk mulai berlayar keesokan harinya. Mempersiapkan diri untuk semangat baru.

~ ~ ~
  Pada awal minggu pertama dan kedua bekerja, aku merasa bahwa pekerjaan ini baik-baik saja.Sampai pada akhir bulan April kami yang berada pada golongan WNI mulai merasakan ada kejanggalan pada sistem kerja yang mereka terapkan dan tidak sesuai dengan perjanjian. Di laut, kami dipekerjakan seperti hewan sirkus, dipaksa kerja 18 jam nonstop tanpa henti. Kami terus dipaksa menarik tambang supaya ikan dapat naik kelambung kapal. Jujur, aku sendiri tidak kuat dengan sistem kerja seperti ini. Semua WNI pernah mendapatkan perlakuan kontak fisik dari golongan etnis tiongkok dikapal. Ada yang wajahnya ditendang dengan ujung sepatu  sampai salah satu giginya lepas dan ada juga yang di tampar. Peristiwa yang paling sedih adalah ketika kami semua diberi makan-makanan yang sudah tak layak konsumsi. Daun-daun sayur yang layu, daging yang sudah nampak belatung, dan minum yang mereka suling dari air laut. Sementara mereka, kaum etnis tionghoa, diberi makan-makanan yang layak dan air minum kemasan yang benar-benar higienis. 
  Hari demi hari kami harus dihadapkan dengan perlakuau keji oleh mereka dan semakin hari tubuhku semakin tidak bisa bekerja dengan baik. Mengonsumsi air minum yang masih asin membuat badan cepat lesu. Hal itu membuatku terpaksa memberanikan diri untuk mencuri air mineral yang mereka simpan dibagian kemudi. Niatku semakin didukung karena pintu masuk sedang tak dikunci. Kuambil dua botol, lalu segera kusimpan dalam tas slempang. Rencananya, air mineral yang kudapat tadi ingin kuberikan kepada kawan-kawan WNI lainnya. Akan tetapi, rencana itu harus pupus sebab satu botol habis oleh Ghani.
  Setelah menenggak habis air mineral yang kuberikan, Ghani langsung tersandar pada salah satu sudut kapal. Wajahnya lemas dan bibirnya pucat seperti tak ada darah yang mengalir pada daerah tersebut. 
  “A..a..ku sudah tak kuat lagi” Ujar Ghani.
  Kubuka tutup botol kedua dengan tergesa-gesa“Minumlah yang banyak dan bertahanlah, kawan”
“Pencuriii !!”Teriak seseorang dari kejauhan dengan bahasa mandarin.
  Satu tendangan melayang ke wajahku, membuat tubuh ini tersungkur dan saat itu juga pandanganku langsung berbayang. Tak lama kemudian, dengan samar-samar kulihat tubuh Ghani tersungkur juga. Riuh suara orang-orang kapal makin membesar, bercampur aduk antara bahasa Indonesia dengan mandarin. Aku tak bisa lagi berdiri menyelamatkan diri, bernafaspun sulit rasanya. 
  Sekarang tubuhku hanya bisa merasakan semburan angin. Aku merasa ini belum saatnya untuk mati, sebab masih kudengar suara disekitaran. Akupun masih bisa merasa tubuh ini diseret oleh seseorang. Entah mau dibawa kemana tubuh ini. Aku tak bisa bertanya padanya.
  Sayup-sayup aku mulai tersadar dan merasa bahwa sekarang tubuhku tergeletak  pada sebuah kasur yang sempit. Mencoba melihat ke sekeliling bilik yang remang-remang. Lalu, kutemukan sebuah jendela berbentuk lingkaran, tak terasa ternyata langit sudah gelap. Aku bangkit dari tidur dan berusaha untuk bertemu WNI yang lainnya. Aku ingin tahu kelanjutan permasalahan yang tadi terjadi. 
  “Kapten. Ia sudah tak bernyawa”
Mendengar perkataan dalam bahasa tiongkok itu aku menghentikan langkah dan menunda untuk keluar.
“Mari lanjutkan prosesinya”
  Aku mencoba membuka pintu dengan perlahan dan mulai membuntuti mereka dari belakang. Sesampainya di buritan kapal aku mengintip dan betapa terkejutnya diriku saat melihat Ghani sudah terikat dengan tali. Ada tiga orang di pagar kapal. Satu persatu kaki mereka menyentuh tubuh Ghani yang tergeletak. Satu kaki di Kepala, satu di perut, dan satu di paha. Lalu mereka mendorongnya sampai tubuh Ghani tercebur di lautan gelap dan tenang. 
  “You’re Fuck*n crazy Chinese !!”
Satu pukulan kembali mengenai wajahku dan membuatku tertidur pada waktu yang panjang. 

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter