Image by Kasun Chamara from Pixabay
Pagi hari, ketika matahari belum menunjukan gagahnya, seorang kakek paruh baya telah terbangun dari tempat tidurnya. Baginya tak ada yang beda dari terbangun dan tertidur. Bahkan ia lebih senang ketika tidur, sebab di dalam mimpinya ada banyak warna yang dapat ia lihat selain warna hitam. Dan bagian yang paling membuatnya selalu ingin terburu-buru tidur ialah melihat senyum-senyum kedua anaknya yang sekarang entah kemana.
Di rumahnya yang hanya sepetak dan beralasakan tanah, ia mencoba meraba-raba dindingnya untuk mencari kemeja Executive putih yang ia beli seharga 150.000 rupiah di Mall. Tapi itu 20 tahun yang lalu, sekarang kemeja itu tak lagi putih melainkan sudah menguning dan harganya mungkin sudah lima kali lipat. Setelah ia dapatkan kemeja satu-satunya itu, barulah ia memakainya dan mulai mengancinginya dari bagian bawah. Sekarang kemaja itu telah berhasil menutupi bagian kulit dadanya yang kini sudah tak lagi rekat pada tulang-tulang rusuknya. Namun karena keterbatasannya, ia melewatkan salah satu lubang kancing dari kemeja Executive itu.
Saat ia baru saja membuka pintu rumahnya, ada suara benda jatuh tepat di depan pintu. Keterbatasan yang ia punya membuatnya mengetahui dengan pasti letak benda jatuh tersebut tanpa harus meraba-rabanya lagi. Benda tersebut ternyata adalah satu sisir pisang. Ucap syukur langsung bergema di dalam batinnya, lalu ia berteriak terima-kasih dengan keras. Akan tetapi ucapan itu hanya dibalas dengan suara sunyi.
Lalu, digantungkan di lehernya satu sisir pisang itu sebagai bekal di perjalanan hari ini. Ia tak menyangka bahwasannya sekarang yang digantungkan pada lingkar lehernya adalah sebuah pisang, padahal dua puluh tahun lalu ada kalung emas yang melekat disana. Dipergelangan tangannya juga ia gantungkan sebotol air mineral, padahal dua puluh tahun lalu pergelangan tangan itu pernah terikat sebuah jam Rolex ratusan juta rupiah. Serta telapak tangannya yang memegang tongkat. padahal dua puluh tahun lalu ia sering menggenggam persenling mobil.
Bagi kakek paruh baya, perihal waktu yang dianggap sebagai urutan angka-angka oleh mayoritas orang, kini selama 20 tahun terakhir angka-angka itu tidak lagi berguna. Dulu memang berguna, bahkan ia sangat menjunjung tinggi setiap menitnya. Sampai pada akhirnya, ia lupa tentang lima waktu utama dalam hidupnya. Sekarang lima waktu itulah yang benar-benar memberikan petunjuk baginya, melalui suara-suara TOA yang saling bersahutan ia bisa mengetahui waktu siang, sore, petang dan malam. Ia merasa beruntung tak lagi memiliki jam Rolex ratusan juta itu, sebab saat ini jam itu tak bisa berguna sama sekali, Jangankan untuk membanggakan desainya, untuk mengetahui waktunya saja ia tak mampu.
Dibantu oleh tongkat kayu yang ia bawa untuk meraba jalan, kakek paruh baya melanjutkan perjalanannya. Ia tak pernah tahu tujuan mana yang akan ia singgahi, ia juga tak pernah tahu siapa yang membuatkannya rumah untuk tempat bersinggah. Sungguh ia tak pernah tahu. Akan tetapi ia punya harapan, barangkali diperjalanan yang entah kemana ini, ia bisa menemukan pelukan dari orang yang selama ini menghilang, yaitu anaknya.
Dua belas jam ia berjalan bersama harapannya dan sekarang adalah suara yang terakhir dari kelima waktu yang ia tahu. Itu berarti pertanda bahwa sekarang sudah memasuki waktu malam. Ia sudah berjalan sangat jauh, kiranya. Pada kenyataannya Kakek paruh baya itu telah sampai kembali didepan rumahnya yang sempit dan pengap.
Selama dua puluh tahun itu ia selalu mengira bahwa perjalanannya begitu jauh. Padahal selama dua puluh tahun itu, perjalanan panjang dengan mata butanya selalu berakhir pada rumah. Ia juga mengira, jangan-jangan kebutaannya bukan dimulai dari dua puluh tahun yang lalu, tetapi kebutaannya dimulai ketika ia mulai mencari harta.. harta dan harta.
Posting Komentar
Posting Komentar