Setelah empat bulan dirumah saja karena pandemi Covid-19, akhirnya saya bersama sahabat dekat memberanikan diri untuk melakukan sebuah perjalan perdana kami yang paling jauh. Sebelum lanjut kepengalaman, jujur saya sudah jenuh sekali dengan aktifitas kuliah online dan program dirumah saja yang digaungkan tiap hari, entah itu di televisi atau di berita online. Merasa usaha program dirumah saja sia-sia karena pada kanyataannya banyak orang yang melanggar peraturan tersebut, maka kami sepakat untuk pergi ke Pantai di daerah Banten menggunakan motor tua yang kami punya.
Sehari sebelum keberangkatan, kami melakukan pertemuan untuk membahas jam keberangkatan sembari ngopi-ngopi santai. Di sela-sela pertemuan itu juga saya iseng bertanya tentang estimasi waktu perjalanan pada seorang teman yang mempunyai keluarga di dekat pantai tersebut. Ia bilang estimasi waktunya sekitar 7-8 jam. Akhirnya, disepakatilah esok hari jam 10 malam kami akan berangkat dari daerah tempat tinggal kami di Bogor. Kesepakatan itu bukan tanpa alasan, akan tetapi waktu tersebut memang bisa dikatakan bebas macet dan bagian yang paling spesialnya adalah supaya bisa menikmati sunrise ditepi pantai.
Kesesokan harinya tanggal 17 Juli 2020 siang hari setelah melaksanakan sholat Jumat, masing-masing dari kami mempersiapkan tunggangannya, seperti ganti oli, cek mesin, dan cek rem pada motor. Tak lupa juga membawa kunci-kunci untuk berjaga-jaga jika ada masalah dijalan. Setelah selesai dengan urusan motor, kami langsung berkumpul di rumah salah seorang dari kami. Seharusnya Total orang yang ikut dalam perjalanan ini adalah tujuh orang, akan tetapi sangat disayangkan satu teman kami, yaitu Akmal membatalkan perjalanan ini karena neneknya tiba-tiba menderita sakit berat dan ia harus menemaninya di rumah sakit. Membaca kabar darinya lewat group membuat kami semua turut mendoakan dan meminta maaf karena kami semua tak bisa menjenguknya.
Pukul 10.00 malam, empat motor dengan knalpot nyaring keluar dari gang, adapun motor-motor tersebut ialah, GL-Max 125 milik saya, GL- Pro 160 milik Zidan, Caferacer milik Rizal, dan motor yang paling buat saya kagum Vespa Super 150 milik Gema. Karena sebelum memulai perjalanan kami melakukan do’a bersama tentunya kami mematikan kendaraan masing-masing agar lebih hikmat. Setelah selesai berdoa kami telah siap menyalakan mesin dan pergi. Sangat disayangkan si Merah Vespa milik Gema malah susah dinyalakan. Dengan terpaksa Gema pemiliknya membuka tutup mesin samping untuk ditemukan letak permasalahanya. Setelah dicek, ternyata percikan pada businya sudah habis. Akhirnya, Rijal mendorong motor itu sampai menemukan bengkel terdekat untuk membeli busi sekaligus memasangnya. Alhamdulillah si Merah bisa kembali menyala, akan tetapi perbaikan itu memakan waktu cukup lama, alhasil pukul 00.00 kami baru berangkat dari rumah 😊.
Dua jam telah berlalu, setelah melewati pemukiman kota Bogor, kami mulai memasuki daerah Rangkas Bitung yang kanan-kirinya adalah kebun sawit. Itu adalah pertama kali saya melihat kebun sawit secara langsung. Di daerah tersebut bisa dibilang cukup mengerikan. Selain jalannya yang gelap, daerah itu juga sangat sepi karena memang sudah larut malam. Beruntung mayoritas lampu motor kami cukup terang sehingga tak menyulitkan pandangan.
Setelah cukup lama membelah perkebunan sawit, sampailah kami pada sebuah pertigaan. Saya sendiri lupa nama daerahnya, salah seorang kawan memberitahu bahwa daerah tersebut sudah masuk daerah Banten. Alih-alih melanjutkan perjalanan, saya yang berada pada barisan depan mencoba melihat spion dan cukup kaget karena semua teman saya tidak ada. Saya yang berboncengan dengan Candra mencoba menunggu beberapa menit. Tak lama kemudian telpon Candra berdering dan mengabarkan bahwa mereka beristirahat disalah-satu warkop didekat pertigaan tadi. Saya pun langsung putar arah untuk menghampiri mereka. Disitulah tempat pertama kami untuk beristirahat, sekadar untuk merokok dan memesan kopi sebagai penghilang rasa kantuk. Karena sudah masuk daerah Banten, sayapun merasa perjalanan ini tinggal sedikit lagi. Candra yang sering ke daeran sana, menunjukkan google maps kepada kami semua, disana tertulis perjalanan akan sampai sekitar dua setengah jam lagi.
Istirahat Sembari Mengabari Kekasih Zidan (Kiri), Gema (Tengah), Rizal (Kanan). |
Badan telah lumayan segar dan perut sudah cukup terisi, ditambah dengan jarak yang sebentar lagi sampai, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan semangat yang juga terisi penuh. Dari tempat peristirahatan kami tadi, ternyata perjalanan selanjutnya lebih berat dari yang saya kira. Pemukiman warga sudah mulai jarang dan lama-kelamaan menjadi tidak ada. Jalannya lebih sempit dari perkebunan sawit yang kami lewati sebelumnya, berkelok-kelok dan menanjak. Perjalanan menjadi semakin berat karena tidak ada lampu penerangan sama sekali. Terkadang tak jarang kami temukan juga jalan bergelombang dan berpasir yang sewaktu-waktu bisa membahayakan kami semua. Melihat kondisi jalan yang membahayakan salah satu teman saya Zidan yang berada dibagian paling belakang langsung menghampiri setiap dari kami untuk mengurangi kecepatan.
Suatu ketika, Candra sang penujuk jalan mengalami keraguan karena dihadapkan dengan dua jalan yang harus ia pilih. Di google maps menyuruh kami semua untuk berbelok, akan tetapi jalannya lebih rusak dan sangat gelap. Saat itu kami hampir berdebat tentang pemilihan jalan tersebut. Sebab kami dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu mengikuti google maps atau tetap mengikuti jalan utama. Pada saat itu posisi kami semua sudah masuk ke belokan yang lebih gelap dari sebelumnya. Tak mau ambil risiko kami pun putar arah untuk kembali pada jalan yang lebih bagus lagi. Belum lama kami beranjak dari keraguan tersebut, tiba-tiba motor Vespa milik Gema mati saat menanjak. Sekarang kami benar-benar harus mengecek mesinnya ditengah jalan yang kanan kirinya adalah pohon-pohon besar dan semak-semak, tanpa ada bantuan lampu jalan sedikit pun. Kami semua mematikan mesin untuk membantu memperbaiki motor Vespa milik Gema, terkecuali motor Zidan saja yang tetap menyala. Cukup lama motor Zidan menyala, alih-alih berinisatif untuk mematikan mesinya karena takut mubazir bensin, ketika baru saya matikan mesinya sontak semua mata teman-teman langsung tertuju pada saya, lalu Rijal berteriak “Jangan dimatiin Pecok !!, sengaja dinyalain biar gak serem bego”.Jujur ekspresi mereka bikin saya tertawa karena memang terlihat panik. Maaf ya kawan-kawan saya gak tau kalo kalian ketakutan 😁
Si Merah ngambek karna kecapean kayaknya |
Walaupun cukup sulit untuk dinyalakan, alhamdulillah motor Vespa milik Gema bisa kembali berjalan. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Perjalanan saat melewati hutan benar-benar memakan waktu banyak. Saat itu saya sudah mulai resah dan boring. Saya tak menyangka bahwa perasaan resah itu akan membuat badan menjadi lemas dan menyebabkan kantuk yang berat. Dengan jurus memaksakan saya tetap berkendara. Tak lama kemudian rumah-rumah pemukiman pun kembali terlihat satu persatu. Akhirmya, jalan kembali terang dan mulai menunjukan aktifitas ronda warga sekitar, terlihat juga sebuah pertigaan dengan tugu pembatas suatu daerah. Saat disana saya merasa ada titik cerah sebagai pemicu penyemangat, akan tetapi rasa kantuk tadi membuat saya hilang fokus dan membuat saya mengulang kesalahan lagi, yaitu meninggalkan rombongan. Alhasil saya putar balik untuk mencari teman-teman. Ternyata motor Gema kembali mati. Bukan karena busi tapi kali ini bensin yang sekarat. Saya yang sudah lebih dulu melewati tugu tadi, langsung memberitahukannya kepada Zidan. Zidan pun menyuruh Rijal untuk menyetepnya ke dareah tersebut, berharap ada tukang bensin disana. Alhamdulillah ada, tapi ternyata tutup
Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak, karena waktu adzan subuh akan berkumandang beberapa menit lagi. Di peristirahatan itu juga kami menyadari bahwa pentunjuk arah yang dipakai ternyata eror. Seharusnya setelah melewati perbatasan tadi adalah sebuah perkotaan, akan tetapi kami semua malah diputar untuk melewati hutan perbukitan. Dan saya akhirnya kena pelampisan marah dari teman-teman. Padahal yang menjadi petunjuk arahkan Candra, sedangkan saya hanya pengemudi yang mengikuti arahan dari Candra. Saya hanya bisa sabar.
Setelah melakukan solat subuh, kami langsung melanjutkan perjalanan kembali. Enam jam sudah kami habiskan di perjalanan tanpa tidur sedikitpun. Rencana melihat sunrise harus pupus, sebab cakrawala telah bangun dari gelapnya. Sedangkan kami masih di jalan yang meliuk-liuk dan menanjak. Di tambah perut yang mulai keroncongan karena belum sempat terisi lagi makan, membuat saya dan teman-teman menjadi lesuh. Walaupun begitu setidaknya jalan yang kami lewati sekarang tak lagi gelap gulita dan aktifitas warga juga sudah mulai terlihat. Di kondisi lapar seperti ini saya membayangkan tukang nasi uduk dengan gorengan yang masih hangat dan renyah, pasti enak betul. Tak lama kemudian terlihat tukang nasi uduk benar-benar ada dan itu adalah doa dengan waktu terkabul paling cepat selama hidup saya. Dan kamipun berhenti untuk sarapan.
Setelah itu, barulah kami melanjutkan perjalanan dengan kondisi perut yang alhamdulillah sudah terisi dengan baik. Kembali kami susuri lagi perbukitan tersebut. Saya tak menyangka, ternyata perbukitan hutan yang kami lewati semalam suntuk tadi menyembunyikan pemandangan alam yang luar biasa ketika sang fajar telah bersinar. Di tambah dengan kabut pagi yang samar-samar membuat pemandangan hutan ini menjadi sempurna.
Tadinya kami mengira bahwa setelah peristirahatan tadi, tujuan kami tinggalah sebentar lagi. Candra sang penunjuk jalan juga membenarkan hal tersebut kepada kami. Pada kenyataannya kami masih belum sampai ke pantai. padahal waktu telah menunjukan pukul sembilan pagi. Kini masalah baru muncul, kami semua mengalami ngantuk berat. Mata salah seorang dari kami juga telah menghitam pada bagian kelopaknya. Dan teman saya Rijal yang mengendarai motor caferacer harus dibonceng karena kantuk yang tak lagi bisa dibendung. Saya pun sebenarnya merasa ngantuk, akan tetapi melihat Rijal yang di bonceng oleh Gema dengan kondisi tidur dan pala yang menyerupai boneka dasboard mobil, membuat kantuk saya sedikit terobati 😁.
Alhamdulillah, sekitar pukul 10.00 desir ombak telah terdengar. Pantai yang saya bayangkan ternyata sangat diluar dugaan. Jika biasanya pantai identik dengan banyak pohon kelapa dan bakau, akan tetapi di pantai yang saya kunjungi ini menampilkan dua alam sekaligus. Di kanan merupakan pemandangan pantai dan di kiri adalah pemandangan sawah. Masyaaallah.
Maafkan saya yang halu |
Kami memutuskan untuk beristirahat dahulu di rumah nenek Candra sebelum pergi menikmati pemandangan pantai. Sekitar pukul dua siang barulah kami benar-benar sampai ke Pantai Kelapa Satu, Malimping, Banten.
Tak banyak yang kami lakukan saat di pantai, selain menikmati kopi, makan mie instan, dan bernyayi lepas menggunakan gitar. Kami tak berani untuk berenang di pinggiran pantai sebab ombaknya sedang besar. Semua itu kami nikmati dengan hikmat tanpa ada yang sibuk dengan handphone masing-masing.
Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan. Mungkin bagi sebagian orang berwisata ke pantai adalah hal yang bisa, bahkan ada yang bilang bukan sesuatu yang harus dibanggakan. Kalian berbicara seperti itu karena perjalanan kalian terasa baik-baik saja dengan moda transportasi yang memadai. Tapi ada yang tidak dapat kalian capai seperti kami, yaitu KEKOMPAKAN DALAM KESULITAN.
Terima kasih juga bagi pembaca yang sudah menyempatkan waktunya membaca tulisan ini sampai selesai.
Posting Komentar
Posting Komentar