Image by José Gracia from Pixabay
Setelah melewati hari dengan bekerja dan bekerja untuk menggapai setumpuk tujuan, kini aku mencoba membaringkan tubuh pada ranjang yang kubeli dengan hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Tentu saja ranjang ini kubeli karena teksturnya yang empuk dan mewah. Soal ranjang Aku tak mau berkompromi sebab hanya di ranjanglah waktu benar-benar berharga. Begitupun dengan ruang kamar tidur disekitarnya. Di antara banyak ruangan yang ada dirumahku, kamar tidur adalah ruangan yang paling luas, disusul dengan ruang keluarga dan ruang bekerja. Sedangkan ruangan yang paling kecil adalah ruang agama. Sengaja ruang agama kubuat paling kecil karena mengikuti mayoritas pola orang yang memang menempatkan ruang ibadah pada ruang yang paling kecil. Itu bukan tanpa alasan, sebab kata mereka jarang dipakai juga, paling-paling jika kepepet barulah pergi keruangan itu. Mereka juga membangun ruangan itu hanya untuk sekadar formalitas desain rumah yang bagus saja.
Biar kuceritakan sedikit tentang kamarku ini. Selain ranjang empuk dan mewah, pada kamar ini kupasangkan dua macam lampu, lampu utama dan lampu tidur. Lampu utama berwarna putih terang sebagai komponen penegas barang-barang yang ada di sekitarnya dan juga sebagai penunjang saat aku membaca berbagai macam bacaan sebelum tidur. Lalu, ada juga televisi, pendingin ruangan, dan kulkas untuk jaga-jaga jika terbangun karena lapar. Bagian yang paling spesial dari kamarku adalah kemampuannya mencegah suara keluar dari kamar, entah mencegah keluarnya suara puncak cinta ataupun suara rahasia keluargaku. Sengaja kubuat kedap suara sebab banyak orang yang mencari-cari kebenaran tanpa mau mencari kebenaran pada dirinya sendiri.
Itulah sedikit gambaran tentang kamarku. Indah bukan ?. Akan tetapi semua itu belumlah lengkap jika istriku belum ikut masuk dan tertidur bersamaku. Biasanya, setelah ia masuk dan telah tertidur pulas, aku akan mengunci pintu lalu kusembuyikan kuncinya pada tempat yang tak pernah ia ketahui. Bukan karena takut ada penyusup ataupun takut ada yang mengganggu waktu kencan bersama istriku, akan tetapi berjaga-jaga jika ajal menjemput setidaknya ia tetap selalu bersamaku.
Sekarang tiba saatnya dimana istriku masuki kamar setelah setengah jam ia habiskan berkutat dikamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Ia tak pernah meninggalkan rutinitas itu setiap pergi tidur. Setelahnya, Ia akan behadapan dengan cermin dan mulailah ia mengoles-oles wajahnya dengan semacam cream perawatan. Aku hanya memandanginya dari ranjang dan terheran, apakah ia juga berjaga-jaga supaya bisa terlihat cantik saat ajal menjemput ?. Entahlah aku hanya bisa menduga-duga, lagipula itu hal yang bagus. Setidaknya jika ajal menjemput aku bisa bangga membawanya dengan keadaan terawat dan cantik. Dengan begitu lengkap sudah kebanggaanku dengan semua yang kupunya.
Saat baru saja tenggelam pada tidur yang lelap, tiba-tiba saja sebuah alarm berdering dengan kencang. Suaranya sungguh memekakan selaput telinga. Dengan mata yang masih berkunang-kunang, Aku mencoba mencari sumber suara itu. Akan tetapi, mataku sulit sekali fokus terhadap benda-benda disekitar dan itu berlangsung cukup lama. Padahal aku sudah tak kuat lagi mendengar suara alarm itu. Sampai pada akhirnya mataku telah kembali fokus dan munculah kejadian aneh, tiba-tiba saja suara sialan itu telah sirna saat pandanganku telah kembali fokus. Belum selesai dengan itu, ranjang mewah yang kubeli dengan jerih payah tiba-tiba saja berubah menjadi ranjang tua dengan sprei berwarna putih dan ranjang itu hanya muat untuk satu orang. Seketika aku langsung beranjak dari ranjang itu dan kucari istriku ditengah ruangan yang hanya diterangi oleh sebuah lentera. Aku berteriak memanggil namanya dengan sekuat tenaga. Tapi itu sia-sia sebab ternyata suaraku redup . Astaga tempat apa ini!.
Kuambil lentera yang tergeletak pada sudut ruangan sempit ini, lalu aku kelilingi setiap sudutnya. Sampai akhirnya kutemui sebuah pintu. Tanpa berpikir panjang akupun langsung mendobraknya dengan penuh harap dapat keluar dari tempat menjijikan ini. Ternyata harapan itu salah, aku malah diperlihatkan hal yang lebih aneh lagi. Ternyata dibalik pintu tersebut adalah kumpulan manusia sepertiku juga. Ada yang sedang duduk, berlari-lari, dan ada juga yang baru keluar dari sebuah pintu sepertiku dengan wajah heran juga tentunya.
L alu, Aku mencoba melangkah dengan perlahan dan mencari tahu tempat dibalik pintu yang baru saja kubuka ini. Lambat laun aku mulai merasa bahwa ini adalah sebuah tempat yang tak asing dipandanganku, seperti tempat yang sering ku singgahi setiap harinya dan semua itu lengkap dengan orang-orang yang kukenal juga. Akan tetapi, disini mereka terlihat berbeda sekali. Semuanya berbeda kecuali wajahnya.
Pada perjalanan ditempat yang aneh ini, aku diperlihatkan hal-hal yang sangat berbeda dari kehidupan biasanya. Aku melihat seorang pria dengan perut yang sangat buncit dan memakai pakaian mewah. Bahkan karena perutnya yang besar, baju yang ia kenakan sampai tak muat lagi. Pria itu hanya bisa berbaring pada tanah sambil membuka dan menutup mulutnya. Seperti ada yang ingin ia ucapkan tapi tak bisa terucap karena sesak. Aku mencoba mendekat dan melihat dengan teliti lagi pria obesitas tersebut. Namum sayang, tak ada yang istimewa selain pin namanya yang luntur dan menyisakan gelar-gelar akademiknya.
Saat Aku masih terheran pada tubuh pria buncit, tiba-tiba saja ada suara seseorang yang berteriak kepanikan. Ia berlari kalang kabut dengan koper yang ia peluk secara erat. Kulihat ia berkali-kali jatuh dan menabrak banyak benda. Lalu, aku mencoba mengikutinya dari belakang. Tiba-tiba saja ia berbalik arah sambil berlari kearahku. Dekat dan semakin dekat, sampai aku mengetahui penyebab dirinya sering terjatuh dan menabrak banyak benda. Ternyata bola matanya telah diganti dengan dua bongkah berlian.
“Tolong tujukan saya jalan keluar dari sini, aku tak bisa melihat. Ambil semua yang ada dikoper ini. Tapi tolong keluarkan saya dari tempat ini” Ujarnya dengan nada panik lalu kembali berlari.
Setelah itu, kulihat juga seorang yang mengemis kebaikan, seorang pelacur yang berdandan alim, seorang pria dengan menunjuk-nujuk kemaluannya dan berkata “Inilah cinta”, serta ada juga orang-orang yang berjalan dengan tenang sambil tersenyum.
Posting Komentar
Posting Komentar