Image by cento4ka from Pixabay |
Pada sebuah kamar yang gelap dan hanya menyisakan suara ritme pada jam, seorang gadis terbaring pada ranjang dengan balutan selimut dan tatapan matanya yang kosong menatap langit-langit kamar. Sebenarnya Ia telah mencoba untuk tidur dan mencoba melupakan sesuatu hal yang sangat Ia benci, akan tetapi jarum detik pada jam telah melewati angka dua belas, ia masih terjaga pada kekhawatirannya tentang hari sabtu. Padahal telah ia lantunkan doa dan tak lupa pada bagian akhirnya meminta, Tuhan tidurkanlah aku pada kenenyakan yang panjang dan bangunkan aku ketika sabtu telah berakhir.
Ibunya yang sudah menduga anak perempuanya akan sulit tertidur pada setiap jum’at menjelang sabtu, mencoba bertanya tentang insomnianya itu melalui sela-sela pintu yang menyebabkan cahaya pada ruang tamu memaksa masuk ke kamar.
“Aku belum tidur, Bu. Sebentar lagi mungkin”Ujar Marlina, sementara dalam batinnya berdesir sebuah harapan, Ibu, berjanjilah kepadaku untuk melarangnya mengajakku pergi jalan pada setiap sabtu.
Ibu kembali menutup pintu dan cahaya yang tadi memaksa masuk juga telah ikut padam. Kembalilah gelap mengambi alih kamar Marlina. Ia mencoba lagi usahanya untuk tertidur dengan cara menarik kembali pikirannya yang berkeliaran kemana-mana. Pikiran tentang kecemasan dan bosan. Akankah Sabtu ini akan sama dengan Sabtu sebelumnya atau malah lebih parah ?.
Sungguh tak disangka, ternyata kecemasan tersebut cukup menguras pikirannya dan menjadi pengantar tidur nyeyaknya sampai pada siang hari. Tentu matahari telah mencapai puncaknya dan cahayanya telah betebaran di luar sana, akan tetapi cahaya tersebut tak bisa menembus jendela kamar karena tertutup oleh gorden. Marlina baru terbangun ketika alarm pada telpon selulernya berdering yang ke 6 kali. Pada hari-hari biasa Ia menyetel alaramnya pukul 5.00 sebagai pengingat waktu ibadah. Namun sayang usahanya selalu saja gagal. Hari sabtu ini ia melewatkan ibadahnya lagi dan memecahkan rekor bangun tersiang dalam hidupnya.
“Bagus kau sudah bangun, Nak. Adi, pacarmu telah menunggumu di teras” Ujar Ibunya melalui pintu yang terbuka setengah, persis seperti tadi malam. Hanya saja dengan pesan yang berbeda.
Marlina tidak menggubris Ibunya, ia hanya menunjukan raut muka yang terheran bercampur dangan wajah setengah sadarnya. Ia meraih telpon seluler dan terlihat tiga pesan belum terbaca pada layarnya. Sebuah pesan selamat pagi, pesan kasih sayang, dan pesan meminta foto. Ditambah dengan dua panggilan telpon tak terjawab.
“Ia mencoba mengabarimu, tapi tak ada jawaban. Khawatir ada apa-apa denganmu jadi ia langsung kesini katanya” Tambah Ibu.
Mendengar kabar itu, beranjaklah Marlina dari ranjangnya dan pergi ke arah wastafel yang berada di sudut kamar. Di sana, ia membasuh wajahnya yang terlihat kantuk, lalu menyisir rambutnya yang sedikit ikal pada bagian bawah dan terurai sampai sebahu. Setelah selesai, barulah ia keluar dari kamar untuk menemui Adi.
Di teras, Marlina disambut oleh senyum Adi yang sedang duduk di kursi rotan. Terlihat dari raut mukanya, Adi memang betul-betul gembira sebab selama ini ia hanya dapat melihat wajah kekasihnya yang natural pada foto yang ia minta pada setiap pagi hari. Sekarang ia melihat secara langsung betapa indahnya seorang Marlina mengenakan tanktop berwarna merah. Di pikirannya Ia mencoba menerka-nerka sesuatu dibaliknya
“Matamu terlihat lelah sekali, kamu habis menangis ?”Ujar Adi.
“Tidak, hanya kurang tidur saja” Marlina duduk di kursi rotan .
Adi meraih tangan Marlina yang sedang ia letakan di paha dan berkata “Lebih baik kamu bergegas berdandan, sayang. Karena malam minggu ini kita akan pergi menonton film bagus”.
“Tapi ini masih jam setengah tiga sore, bukankah baru disebut malam jika telah lewat jam 18.00”Pungkas Marlina.
“Semakin awal maka semakin lama waktu kita bercengkrama, sayang”
Marlina pun menuruti kata Adi dan langsung beranjak dari kursi rotan untuk bersiap-siap bermalam minggu. Walaupun sebenarnya belum masuk waktu malam.
Tak banyak yang ia lakukan saat berdandan, jika kebanyakan wanita akan menghabiskan barangkali satu jam untuk bersolek pada malam minggu, pada sabtu ini Marlina enggan bersolek berlebihan. Ia hanya menggunakan bedak secara tipis pada bagian muka dan liptint pada bibirya. Pakaiannya juga tak begitu istimewa, hanya hoodie oversize dan celana jeans hitam dengan bagian pinggangnya yang mampu menutup sedikit timbunan lemak diperutnya. Setelah selesai berdandan, ia pun pamit kepada sang ibu dan langsung berangkat.
Seperti yang sudah direncanakan, mereka akan pergi menonton di bioskop. Sayangnya mereka sampai terlalu cepat di mall karena film yang akan mereka tonton baru akan diputar pada pukul 21.00. Sambil menunggu filmnya di putar Adi mengajak Marlina makan terlebih dahulu, setelah itu berjalan mengelilingi mall sambil mampir ke gerai-gerai toko pakaian dan gerai kosmetik untuk membeli kebutuhan rutin seorang Marlina. Setiap kali mengunjungi gerai, Marlina selalu hendak membayarnya dengan menggunakan uang yang ia miliki, namun Adi selalu terlebih dahulu membayarnya dengan credit card yang ia punya..
“Biar aku saja yang bayar tiket bioskopnya, nanti” Ujar Marlina.
Adi menatap hangat Marlina sembari berjalan menuju pintu masuk bioskop “Tikenya sudah kubeli online, Sekarang kamu hanya perlu menikmati malam minggu ini dan berikanlah cintamu selalu”.
Hanya ada sedikit orang di dalam bioskop, tak lebih dari 20 orang mungkin.Tapi mereka semua berpasangan. Pasangan satu dengan pasangan lain duduk berjauhan. Ada yang di pojok bawah, pojok atas, dan hanya sedikit yang duduk di kursi tengah. Adi dan Marlina duduk di kursi barisan tengah, hanya mereka berdua di barisan itu. Lampu telah dipadamkan dan suara speaker telah menggema, tanda dimulainya film.
Dua jam telah berlalu, mereka keluar dari pintu bioskop dan langsung menuju parkiran. Sepanjang perjalanan mereka tak terlibat percakapan sama sekali. Parkiran telah legang, hanya menyisakan motor matic Adi. Pergilah mereka meninggalkan mall yang suram itu. Motor Adi melesat ke suatu tempat yang Marlina tak pernah tahu.
Lalu, di apartment itu Adi menyelesaikan ciumannya yang tak selesai di bioskop tadi, membuka apa yang ia terka-terka ketika di rumah Marlina. Dan Marlina baru tersadar arti cinta yang sebenarnya, ketika keringat telah menyiram tubuhnya dan menguap di ruang apartemen.
Posting Komentar
Posting Komentar