Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen 'Turun Ke Jalan untuk Mencari Keadilan (?)'

     


    Ketika matahari masih sayu, sepasang bola mata telah terbit mendahului dan menujukan keperkasaannya pada sebuah bilik dapur. Jari-jari lentiknya sangat terampil saat mengolah bahan makanan mentah. Bahkan keterampilannya itu telah melewati batas. Bagaimana tidak, dengan dua tangannya itu Ia bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus dalam satu waktu. Sebut saja saat dua wajan yang sedang dipanaskan dengan tipe makanan yang berbeda, hal itu Ia kerjakan secara bersamaan. Bahkan Ia masih sempat untuk menyuci tumpukan piring kotor. Semuanya rutin Ia lakukan setiap pagi hari.

    Segala kesibukannya di dapur menghasilkan suara yang beraneka ragam, mulai dari suara gemercik minyak, suara gesekan spatula, dan suara piring-piring keramik yang saling beradu.  Suara-suara yang cukup riuh pagi itu. Namun, suara riuh itu tak cukup keras untuk membangunkan anaknya yang bernama Rayyan. Padahal uap-uap pengap bekas memasak tadi telah mengisi seluruh ruang rumahnya yang reot dan hal itu cukup untuk mengganggu tidur seorang bocah kecil.

    Sambil meniriskan makanan yang telah selesai dimasak, Ia mencoba membuka sekatan yang terbuat dari spanduk bekas kampanye wakil rakyat lalu mencoba membangunkan buah hatinya yang masih terlingkup pada kasur lusuh. 

    "Rayyan, Bangun, Nak. Sudah siang" padahal matahari belum tampak. 

    Rayyan tak kunjung bangun dan hanya mengganti posisi tidurnya. Sedangkan Ia masih sibuk dengan peralatan dapurnya.

    "Astaga, Rayyan. Ayo bangun, Nak. Nanti kita bisa terlambat turun ke jalan". Ia mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Rayyan, namun anak itu masih saja belum terbangun dari tidurnya.

    Rayyan akhirnya terbangun setalah suara gemuruh kereta pertama melewati rumahnya. Rasa kantuk masih terlihat di mata Rayyan saat sang ibu menyandarkan tubuhnya di permukaan dinding rumah. Dinding yang terbuat dari lapisan triplek bekas. Hampir rapuh tapi cukup kuat menahan tubuh mungil Rayyan. 

    Ia, ibunya langsung menyodorkan teh manis hangat pada anak semata wayangnya. Sembari menunggu Rayyan menghabiskan teh manis, Ia membasuh wajah Rayyan dengan air lalu mengelapnya dengan kain bersih untuk menghilangkan rasa kantuk anaknya itu.  

    Rayyan masih bersandar pada dinding sembari memegang gelas berisi teh manis. Tatapan matanya kosong memandangi keranjang yang dibungkus dengan kain batik. Keranjang itu tampak berisi lebih banyak dari yang dilihat pada hari sebelumnya. 

    "Bu, Kok hari ini banyak banget bawaannya ?"Tanya Rayyan.

    "Sudah jangan banyak bertanya, cepat habiskan teh mu. Jangan lupa siapkan topi supaya gak kepanasan disana".

    Rayyan pun menuruti perintah ibunya dengan menghabiskan teh manisnya tanpa sisa. Melihat sang anak telah menghabiskan teh manis buatanya, Ia langsung menggendong Rayyan pada punggungnya setelah itu barulah ia sengketkan keranjang bawaan pada tubuhnya. 

    Matahari telah memperlihatkan sinarnya saat Ia dan anaknya beranjak pergi menuju titik lokasi. Mereka berjalan melintasi rel kereta yang berbatu. Ah..barangkali bukan mereka yang sedang melintasi rel kereta tapi rel keretalah yang sedang melintasi mereka. Ia lebih memilih jalan yang berkerikil sebab trotoar terlalu egois untuk mereka berdua. Lebih baik jalan berkerikil daripada harus menepi berkali-kali dari penguasa trotoar.

    Setelah satu jam berjalan tibahlah mereka di daerah Sudirman. Konvoi kendaraan dan iringan barisan yang isi oleh mahasiwa telah terlihat berkumpul di kawasan tersebut. Ia dan anaknya tentu ikut ke dalam barisan-barisan itu untuk pergi ke pusat pemerintahan. Ia tampak bebas memasuki barisan manapun sebab Ia tak memakai identitas yang melekat seperti almamater. Biasanya Ia  memilih barisan yang kompak dan banyak agar lebih mudah meraih tujuannya. 

    Waktu terus berjalan dan hari semakin siang, namun Ia tak  merasa lelah malah semangat turun ke jalannya semakin membara karena massa semakin banyak. Gerakannya semakin cekatan menyebabkan kedua kaki mungil Rayyan berayun-ayun. 

   Sampai akhirnya Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak saat Rayyan merintih kepanasan. Di sela-sela peristirahatannya itu, timbul sepintas senyum dari raut wajahnya karena rencana turun ke jalan membuahkan hasil manis. Bukan berupa keadilan, tapi sekumpul uang dari hasil berjualan. 


Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter