Ferry menghela nafas sejenak setelah sekian lama sibuk dengan smartphone-nya. Menatap dengan gelisah sebuah jam gaya retro yang terletak pada dinding cafe. Sekiranya, sudah hampir satu jam ia duduk di sana dan hanya ditemani dengan sepiring friench fries yang hampir dingin. Niatnya sepiring French fries itu ia pesan untuk dimakan secara bersamaan dengan dua sahabatnya, namun menunggu membuatnya lapar sehingga ia putuskan untuk mulai memakan kentang goreng tersebut.
“Hei, Fer. Sudah lama menunggu ya” Ucap pria yang tiba-tiba datang.
Ferry menatap tubuh pria itu dengan tatapan yang sedikit sinis dan berkata “ Menurut mu ?”.
Pria bertubuh gempal itu adalah Danny, sahabat Ferry semasa SMA.
Danny menggeser bangku yang tadinya menjorok ke dalam meja “Aihh, Maaf lah aku terlewat tadi dan bagian terparahnya, Fer. Aku nggak tahu kalau cafe ini terletak ditepi jalan Bogor yang menerapkan sistem oneway. Jauh sekali aku harus memutar”.
“Ngomong-ngomong, mana kawan kita satu lagi. Si Joko Jowo ?” Lanjutnya.
Ferry tak mengeluarkan kata-kata dan hanya mengangkat kedua bahunya. Keterlambatan Danny sudah cukup membuat dirinya tak nafsu memulai pembicaraan. Ekspektasinya tentang percakapan canda-tawa di reuni kecil-kecilan ini luntur sudah. Seharusnya memang sudah ada memori-memori kala SMA sudah mengisi penuh pada cafe itu tapi Ia memilih melanjutkan memakan french fries-nya, barangkali dengan perut yang terisi suasana hatinya dapat pulih
“Ia tak ada bedanya, masih saja sering terlambat. Sudahlah aku pengen pesen minuman dulu” Tungkas Danny.
Baru saja Danny beranjak dari duduknya, seorang pria datang berjalan dari arah pintu masuk menghampiri mereka berdua dengan langkah kaki yang cepat dan meleparkan senyum dari kejauhan.
“Panjang umur. Itu dia manusianya” Ucap Danny,
Sontak, Ferry pun menoleh dan menatap ke arah datangnya Joko. Ia masih tak mengeluarkan kata-kata. Sedangkan Danny menunda untuk pergi memesan.
“Halo, Sorry nih terlambat. Dosen meminta jam tambahan” Joko menujukan gigi-giginya.
“Halah, sudah memang jadi kebiasaanmu dari dulu, Jok. Kau mau pesan apa ? Biar aku yang memesannya ?” Ujar Danny.
Ferry menatapnya sejenak .Bukankah kau juga terlambat.
“Seperti biasa, Kopi hitam saja” Jawab Joko.
Seperti yang dilakukan Danny tadi , Joko pun menarik kursi yang tadinya menjorok ke dalam meja lalu duduk disebelah Ferry. Mengeluarkan sebungkus rokok jenis mild, mengambilnya sebatang dan mulai menyulut rokok itu pada sela-sela bibirnya.
“Jadi, gimana kabarmu, Fer ?” Asap-asap keluar dari lubang hidung dan mulutnya.
“Kamu ini bagaimana, sih. Apalagi kalau bukan baik jawabnya. Mungkin jika sedang tak baik aku tak akan datang ke reuni tak penting ini” Jawab Ferry.
“Realistis sekali jawabanmu” Joko melemparkan senyumnya.
Tak lama kemudian, Danny datang setelah selesai memesan dan kembali duduk seperti semula. Sehingga sekarang lengkap sudah kelompok persahabatan mereka. Dua tahun merupakan waktu yang cukup lama bagi sebuah perpisahan di dalam sebuah persahabatan. Untuk sifat mungkin tak banyak yang berubah walaupun waktu terus berjalan. Cara mereka bercanda pun tak jauh berbeda. Akan tetapi dalam hal cara mereka hidup dan memilih kehidupan pastilah berubah drastis. Itulah dunia lelaki.
Suasana semakin mencair setelah pelayan mengantarkan pesanan kopi hitam dan jus alpukat milik Danny dan Joko. Uap terlihat menguap dari cangkir kopi dan embun-embut menyelimuti gelas. Saat itu juga mereka berdua mencoba memutar memori-memori konyol saat SMA. Tawa mereka lepas, kecuali Ferry ia hanya tersenyum dan memilih sikap tak berlebihan.
Namun waktu tidaklah selalu tentang tertawa. Momen pastilah berubah entah menjadi kejatuhan atau mungkin malah perpisahan. Itu dibuktian ketika Danny mengeluarkan peralatan roko elektriknya.
“Wih, gaya betul kau Den. Sekarang sudah beralih nge-vape” Tungkas Joko.
“Iya, dong. Berkat hasil kerja nih. Keliatan keren bukan ?. Oh ya ngomong-ngomong kenapa kamu milih kuliah Jok. Bukankah kuliah itu membosankan dan melelahkan. Nggak dapet duit lagi” Tanya Danny.
Joko terdiam sejenak lalu kembali meyesap dalam-dalam rokoknya. Sepertinya suasana mulai beralih menjadi keseriusan dan ia mahasiswa, tentu suka berdebat.
“Ya..untuk apalagi kalau bukan untuk menambah wawasan dan mempertajam bidang yang aku suka” Jawab Joko dengan tenang.
Ferry meraih kopi yang sudah dingin dan mencoba mendalami percakapan mereka yang sepertinya akan berlanjut menjadi sebuah perdebatan.
“Ishh.. bekerja lebih baik Jok. Kamu tidak hanya mendapat wawasan tapi juga keahlian. Dan yang paling penting adalah dapet uang” Terlihat dari raut wajahnya, Danny cukup serius saat melemparkan argumennya itu.
Joko menjeda perbincangan itu dengan sedikit tawa. Baginya itu argumen yang menghasilkan humor.
“Bukankah kau tahu bahwa aku ini kuliah dalam ranah D3 yang mana hampir tujuh puluh persen adalah praktek pengembangan keterampilan, atau jangan-jangan kau tak tahu itu ? Nahas” Ujar Joko
Pria betubuh gempal itu mencoba mencari jalan pikiran lain. Kini gilirannya yang menjeda. Meyibukan diri pada peralatan rokok eletriknya. Mengganti kapas, menyelipkannya pada kumparan tembaga, lalu mengisinya dengan cairan propelyne glicol yang mengandung perisa makanan.
“Sungguh tak efektif” Celetuk Ferry lalu melanjutkan memakan irisan kentang goreng.
Sebenarnya Ferry ingin sekali ikut dalam perdebatan itu namun ia urungkan niatnya sebab hal itu hanya akan membuang pikiran secara sia-sia. Apalagi ia tahu betul bahwa permasalahan yang didebatkan itu bukan topik yang menarik dan basi untuk dibahas. Maka ia lebih memilih menyibukan diri dengan memakan kentang gorengnya dan mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut mereka.
Rancangan roko elektrik yang tadi diotak-atik oleh Danny sepertinya sudah siap digunakan. Ferry menatap lamat-lamat alat yang dipikirnya seperti corong industri itu. Maklum ia belum pernah melihat barang aneh seperti itu sebelumnya.
Terdengar suara celetuk berulang-ulang saat Daany menekan tombol kecil pada rokok elektriknya. Setelah itu ia hisap pada bagian corongnya dengan tenaga dua kali lebih kuat dari cara merokok konvensional dan menghembuskannya dengan perlahan. Sekarang asap itu mengebul lebih tebal dan dengan sombong mengalahkan asap rokok milik Joko. Alis Ferry kini terangkat terkesima pada rokok tanpa bara yang asapnya lebih ramah dengan masyarakat sekitar.
“Ya..ya.Tapi bagian personaliaku pernah berkata bahwa perusahaan lebih tertarik merekrut anak SMK yang fresh graduate dari pada lulusan diploma. Sebab jika harus mempertimbangkan dua keahlian yang tak jauh berbeda sedangkan yang satu lebih murah tarifnya, tentu SMK adalah pilihan baik” Ujar Danny.
“Cukup masuk akal” lagi-lagi Ferry nyeletuk.
Kini Joko merasa tersudutkan karena Ferry mulai mengiyakan argumen Danny tadi. Namun ia mahasiswa, tak boleh menyerah begitu saja. Bisiknya dalam batin.
“Ah.. Bagian personaliamu kurang tepat sepertinya. Nyatanya berapa banyak yang lebih memilih diploma karena kurikulumnya lebih spesifik dan tersepesialisasi pada bidang yang sedang mereka cari. Aku pikir suatu hal yang membuang waktu jika mereka harus kembali mengajarkan anak-anak SMK itu lagi saat di lapangan” Balas Joko.
“Wow.. menarik” Tukas Ferry.
Danny menatap Ferry dan berkata “Fer, kau kan sekarang bekerja, berilah Si Joko gambaran tentang kelebihan bekerja”.
“Sebenarnya aku ingin mengatakannya, tapi disatu sisi sekarang aku juga menyambi sebagai anak kuliahan”
Raut wajah Danny berubah seketika seperti terkejut tapi juga merasa aneh, begitupun dengan Joko. Lalu mereka mengakhiri perdebatan tentang bekerja dan kuliah tadi. Percakapan menjadi hening menyisakan deru percakapan dari pelanggan sekitar.
Posting Komentar
Posting Komentar