Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen 'Ada yang Hilang Di Valentine'

     


    Pagi telah tiba dan matahari telah merekah, kututup segera sinar yang memaksa masuk ke wajahku dengan selimut yang nyaman nan lembut. Hari ini akhir pekan, sebuah hari yang tepat untuk bermalas-malasan. Dalam balutan selimut ini segera kunyalakan gawai pintarku, tepat di bawah layar yang menunjukan waktu 08.30 terdapat satu notifikasi darinya. Sebuah ucapan selamat pagi dengan emoticon cium dan peluk. Tentu aku tersenyum melihatnya dan yakin betul inilah yang akan dilakukan para wanita di luar sana ketika menerima pesan dari kekasihnya. Dalam imajinasi, sepertinya sekarang selimutku menjelma menjadi tubuhnya dan merasakan betul kini ia sedang memelukku dengan hangat. 

    "Hei, perawan bangun sudah siang masih aja molor. Sarapan dulu, keburu dingin tuh nasi goreng"

    Imajinasi buyar seketika saat mendengar ucapan Ibu itu, padahal aku dan dia sudah saling bertatapan. 

    "Iya..iyaa"Jawabku. 

    Segera aku keluar dari kamar untuk menuju ke ruang makan. Entah kenapa saat imajinasi percintaan hilang, tiba-tiba saja perutku merasa lapar. Apa ini karena terlalu memikirkannya ?. Sepertinya cinta memang bukan hanya mengisi sisi lain hati tapi barangkali memiliki manfaat lain yaitu mengganjal perut yang sedang lapar. 

    Tepat di depan kulihat Bapak sedang duduk di ruang makan. Wajahnya tertutup lembaran koran. Senang sekali rasanya beliau masih ada sampai hari ini. Kulemparkan senyum kepadanya, dengan tak sabaran aku ingin mendengar kata-kata favorit yang sering ia lontarkan ketika pagi hari. Aku duduk tepat persis di depannya sekarang, tapi wajahnya masih saja tak muncul dari balik lembaran koran itu. Wajahnya tetutup berita dengan headline "Penjualan Alat Kontrasepsi Meningkat Tajam di Hari Valentine".

    Biasanya bapak selalu melontarkan ucapan selamat pagi padaku dan kata-kata favoritku ialah ketika ia bertanya "Hei sayang, mimpi indahkah semalam ?" lalu disusul dengan senyum dari bibir manisnya  kemudian. Tapi pagi ini aku belum lihat bahkan seberkas senyum darinya. Ah mungkin ia sedang fokus membaca dan memperhatikan peristiwa-peristiwa di koran itu. 

    Seketika aku terfokus pada headline berita di koran yang sedang Bapak baca tadi. Hari Valentine ? 

    "Bu.., Sekarang tanggal berapa ?" Tanyaku pada Ibu yang sedang mengelap permukaan kompor. 

    "Tanggal 14, kenapa emang ?"

    Sudah kuduga berarti hari ini adalah Hari Valentine. Aku pun memberitahu bahwa hari ini adalah hari valentine. 

    "Valentine ? Hari Apa itu ? Terdengar seperti nama pembalap motor GP" Ujar Ibu. 

    Sedikit kaget ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh Ibu. Terkadang ia memang kurang mempedulikan hal-hal yang kurang membuatnya untung. Ibu yang tak tak peduli tentang politik dan berita ekonomi. Sangat berbeda 180 derajat dengan Bapak. Tapi ini Hari Valentine, seharusnya ia pernah dengar itu di sinetron kesukaannya. Akhirnya dengan singkat kujelaskan kepadanya tentang hari Valentine yang berarti hari kasih sayang. 

    "Oalah.. aneh betul anak muda zaman sekarang. Kasih sayangpun harus dirayakan. Tiap-tiap hari Ibu dan Bapak sayang kepadamu tapi gak pernah tuh dispesialin kayak gitu" 

    "..Dan sepertinya waktu Bapak dan Ibu pacaran gak pernah ngerayain Hari..hmm, apa tadi katamu ?. Valentino ?. Yakan, pak ?" Tambah Ibu. 

    "Valentine, Buk" Koreksiku. 

    Bapak tak menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Ibu tadi. Kini sepasang matanya sedikit terlihat dari balik koran itu. Ia hanya mengeluarkan suara "Hmm..". Tak lama kemudian tubuhnya beranjak dari kursi dan berjalan ke arah teras. Kupandangi terus setiap sudut punggungnya yang hanya dibalut oleh sehelai kaos oblong putih. Cahaya dariluar membuatnya terlihat gagah, walaupun umurnya sudah kepala empat. Setelah dirinya sampai keluar, dari balik tirai aku melihat siluet tubuhnya yang sedang meraih sangkar-sangkar yang terisi burung Lovebird kesayangnya.  

    Tepat dikursi saat ini kududuki, entah mengapa seperti ada yang berbeda dari Bapak akhir-akhir ini. Tentu batin mencoba mempertanyaakan sebabnya. Apakah ada kesalahan yang telah kuperbuat sebelumnya sampai membuat Bapak marah. Akan tetapi aku gagal menemukannya. 

    Pelamunanku pecah saat mendengar nada dering telpon. Itu dari Raka. 

    "Sayang.." Ujar Raka dari dalam telpon. 

    Seketika suaranya membuatku memaksa untuk tersenyum. "Hai..". 

    Raka memang selalu membuatku mudah tersenyum bahkan hanya dengan suaranya saja. 

    "Sudah sarapan ?"

    Dengan perasaan senang aku jawab sudah tentunya.

    "Nanti sore keluar, yuk. Mumpung sekrang hari Valentine aku punya kejutan buat kamu"

    "Okay, Nggak sabar lihat kejutannya, bisa kasih tau clue-nya gak ?" Ujarku. 

    "Kalo dikasih clue, bukan kejutan namanya. Pokoknya kamu tunggu aja nanti. sampai ketemu nanti sore" Setelah itu ia akhiri telponnya. Padalah tadinya aku ingin sekali menucapkan bye, aku sayang kamu.

****

      Setelah hampir satu jam aku berdandan dan sibuk memilih pakaian untuk dipakai pergi nanti, akhirnya kini aku sudah cukup puas dengan hasil polesanku sendiri. Pertama kalinya aku seserius ini dalam berdandan. Apalagi  kalau bukan karena hari pertama aku pergi bersama lelaki selain Bapak. Sekaligus hari perdanaku dalam perayaan Valentine. 

    Sekarang hanya tinggal meminta izin dari Ibu dan Bapak perihal pertemuanku dengan Raka sore ini. Seperti kebanyakan Ibu pada anak perempuannya di luar sana, aku didera banyak pertanyaan olehnya. Aku bagai narasumber yang sedang diwawancarai oleh wartawan, pertanyaan seputar 5W 1H tak terelakan. Tak luput juga sebuah negosiasi yang alot bagai dua negara yang sedang berperang demi meraih keuntungan. Akhirnya ibu memberikan izin dengan syarat waktu pulang tak lebih dari pukul sembilan malam. 

    Tiba saatnya untuk meminta izin ke Bapak. Jantungku mulai berdebar cukup kencang. Ada sebuah firasat bahwa inilah bagian yang tersulit untuk mendapatkan izinnya. Walaupun ia adalah sosok yang tak ribet seperti ibu, pastilah ini akan menjadi hal yang berat baginya. Aku teringat saat setiap kali kenaikan jenjang sekolah ia adalah sosok yang paling peduli. Saat itu, pada hari pertama sekolah ia selalu membelai rambut dan mentapku, lalu dengan matanya yang terlihat terharu ia akan berkata "Hati-hati dijalan nak" setelah itu melambaikan tangan. Sebuah pengalaman yang tak akan kulupakan dan Aku yakin sore ini ia akan melakukan itu lagi. 

    Kutemukan dirinya sedang duduk pada teras rumah dengan segelas teh disampingnya. Menatap kosong kearah gerbang rumah. Entah apa yang ia pikirkan dalam benaknya sampai-sampai kedatanganku tak terlihat pandangannya. Jujur aku bingung harus memulai pembicaran darimana. Tapi jika tak memulai Raka akan segera datang menjemputku dan aku akan gagal meminta izinnya. Akhirnya diri ini memulai dengan duduk di sampingnya.

    "Rina ?, ada apa ?" Rupanya ia cukup terkejut dengan kedatanganku. 

    "Aku mau minta izin pergi sama Raka, boleh ?" Tanyaku dengan sangat hati-hati.     

    Matanya menatapku "Oh, yasudah silahkan" 

    Setelah itu ia beranjak dari duduknya dan segera pergi melewati sepasang kakiku yang kian hari makin membesar karena lemak. Angin dari perelewatannya membuat kain rokku tergeser sedikit. Tak seperti yang kusangka, ini pasti ada yang salah dari Bapak.

    "Tunggu,Pak !" Entah kenapa ucapanku bisa terdengar lantang saat memanggilnya. 

    Suaraku membuatnya tertahan saat hendak menutup pintu "Apalagi ?".

    "Sudah seminggu ini Bapak nggak seperti biasanya, bapak kenapa?"

    Bapak mengurungkan niatnya untuk masuk ke rumah. Kini kami saling tatap lagi.  Segaris senyum muncul dari bibirnya. 

    "Ternyata Bapak ketauan, ya" Ujarnya.

       Ketahuan ?, sebenarnya apa yang sedang ia rencakan. 

     "Sebenarnya.." Ia kembali duduk disampingku, menatap semburat senja yang sedang perkasa. 

    "Akhir-akhir ini bapak sedang melatih diri untuk bisa mulai melepaskan putrinya yang semakin hari-semakin dewasa dan nantinya akan segera pergi dengan lelaki selain bapak demi tujuan hidup yang sebenarnya"  

     Sepertinya sebuah tombak gaib baru saja menghujam relung hatiku saat mendengar perkataan Bapak tadi. Seketika aku menjadi bisu. 

    "Nah, pacarmu sudah datang. Pergilah. Biarkan bapak melanjutkan persiapan ini. Jangan lupa pesan Ibu" Tambahnya sambil mengacak-acak rambutku, lalu pergi ke dalam rumah.  

    Sungguh kata-kata yang masih terbawa bermil-mil jauhnya. Hari ini Valentine telah tiba untuk kesekian kalinya, namun aku tak bisa merasakan aura romantisme disini. Hanya bisa menatap kosong ke arah menara Eiffle dari apartemenku. Tak pernah ada yang istimewa dari Valentine semenjak Raka si Kaparat mencoba meraih setiap lekuk tubuhku dengan iming-iming hadiah empat tahun lalu. Seharusnya headline  berita koran bapak dulu sudah cukup menjadi pertanda buruk. 

   

    


    

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter