Deru mesin motor dan mobil adalah musik langganan Kandi beserta dengan anaknya saat berjualan pada trotoar jalan. Ia hanya mengambil separuh dari lebar troatoar itu untuk menggelar meja sebagai tempat pajangan bagi jambu-jambu bijinya yang akan disusun seperti sebuah piramid. Tidak ada yang istimewa dari tempat berjualannya itu, mejanya hanya terbuat dari balok kayu yang ia ambil dari bekas puing-puing bangunan, begitu juga dengan tempat duduknya dari keranjang-keranjang buah yang ia lapisi dengan spanduk bekas agar tidak mudah lapuk jika terkena air hujan. Tepat di atasnya terdapat atap yang berbentuk seperti kanopi asal jadi dari banner bekas lagi. Barangkali ini lah yang disebut dengan desain minimalis yang sebenarnya.
Anaknya yang masih berumur lima tahun itu sesekali dipangku dan jika ia sudah bosan Kandi akan melepaskannya pada tikar dengan koran-koran bekas yang berserakan, membiarkannya bermain dengan koran-koran tersebut. Terkadang dirobek, dilipat, dan dicoret-coret dengan pulpen.
Sudah hampir lima jam Kandi duduk menjaga jambu-jambunya, akan tetapi belum ada sebijipun yang terjual. Tak ada yang salah dari jambu-jambunya, semua terlihat hijau kekuningan, menandakan bahwa jambu itu kualitasnya baik, tidak terlalu matang dan tidak juga mentah. Satu diantaranya ia belah sebagai bukti bagian dalamnya memang bagus.
"Yaallah Kalau hari ini gak laku sedikit pun, gimana bisa beli makan untuk nanti malem" seru Kandi dalam hati sambil mengipasi gerombolan lalat yang mencoba hinggap di jambunya.
Di antara kendaraan yang berlalu-lalang, tepat diseberang jalan sana ia melihat dua orang mahasiswa yang sedang berjalan memakai almamater sambil menenteng beberapa buku dan itu membuatnya hanyut dalam lamunan lagi.
"Andai saja aku bisa menjajal S1 mungkin nasibku tidak akan berakhir jadi penjual jambu di tepi jalan ini dan lihatlah mobil-mobil itu, pasti akan mudah kudapatkan juga".
Ia pandangi terus kedua pemuda itu yang sekarang mulai menyebrangi jalan untuk menghampiri masjid yang tak jauh dari tempatnya berdagang. Sampai akhirnya ia tersadar dengan orang-orang yang juga mulai berdatangan ke arah masjid raya itu, menandakan bahwa waktu Dzuhur akan tiba. Menyadari hal itu, Kandi mulai merapihkan dagangannya dengan menutup tumpukan jambu-jambu tersebut menggunakan plastik hitam. Bukan untuk mencegah jambu agar tidak diambil tapi hanya sekedar memberi tanda bahwa ia sedang istirahat sekaligus mencegah dari lalat-lalat nakal. Lagipula siapa yang ingin mencuri sebuah jambu di siang bolong seperti ini. Bukankah gerai-gerai disekitarnya lebih menarik perhatian para pencuri ?pikirnya. Itulah yang ia lakukan setiap tiga waktu selanjutnya. Kandi tidak mau membuang kesempatan jarak tempat ibadah yang dekat. Setidaknya, ibadah membuat dia kembali yakin dengan usaha berdagangnya, walaupun memang harapan yang dimintanya sering jauh dari kata sesuai.
Seusai shalat, ia kembali pada perdagangannya yang membosankan. Sengaja ia berdo'a lebih cepat dengan berharap ada yang membeli jambu-jambunya itu selepas sholat. Namun diantara lalu-lalang orang-orang tersebut tidak ada yang mampir untuk melirik atau bertanya-tanya jambu daganganya. Lagi-lagi do'anya tidak terkabul, ujarnya dalam hati.
Ia pun memilih melupakan dugaan tersebut dan memilih untuk mulai memberi makan untuk anaknya dengan bekal yang ia bawa dari rumah. Senang hatinya saat melihat sang anak begitu lahap makan walaupun hanya dengan lauk tempe dan kecap. Salah-satu alasannya membawa sang anak diperdagangannya itu agar dapat mengusir sepi. Bukan mengusir sepi di tempat jualannya tapi mengusir sepi pada hatinya.
"Permisi, bolehkan kakek tua ini mencicipi jambu bijinya. Mereka terlihat segar sekali"
Suara yang tidak tak asing buat Kandi dan benar saja dugaannya. Itu adalah lelaki yang biasa mengimani setiap shalatnya.
"Eh,Pak Ustadz. Tentu saja boleh. Bapak duduklah di sini, biar saya potong terlebih dahulu" Kandi pun membagi kursi dari keranjang buah kepada sang Ustadz. Baginya ini sebuah kesempatan yang mulia dagangannya bisa didatangi salah-satu orang terpandang di kotanya
Pak Ustadz melihat gerak Kandi yang begitu mahir membelah sebuah jambu. Tak perlu waktu yang lama sebuah jambu telah terpotong menjadi bagian kecil berbentuk bunga yang menarik. Secercah senyum timbul dari bibirnya.
"Terima kasih banyak, cantik sekali warnanya" Ujar Ustadz.
Ucapan bismillah terlontar dari bibirnya, ia pun mulai melahap jambu itu dengan perlahan.
"Masyaallah, sungguh manis jambu ini, nak".
Kandi menatap wajah ulama di depannya itu, memastikan kembali bahwa yang dilihatnya adalah benar ulama terpandang.
"Wajahmu terlihat bersedih, ada masalah kah ?" Tanya Ustadz.
Mendengar pertanyaan itu, sontak Kandi sedikit terkejut. Ia tak mengira kalau sengkarut hatinya bisa sampai terpancar di wajahnya. Tidak hanya itu saja, kini muncul keraguan untuk membalas pertanyaan itu.
Timbul sebuah jeda yang lumayan lama dari pertanyaan Pak Ustadz tadi, sampai akhirnya Kandi memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu."Bolehkah saya bertanya, Pak Ustadz ?"
"Tentu saja boleh, Nak" Pak Ustadz menaruh piring yang berisi potongan jambu tadi di pangkuannya dan siap dengan pertanyaan Kandi.
"Sebenarnya, apa tujuan Allah menciptakanku sedangkan aku hanya ditakdirkan menjadi seorang penjual Jambu" Tanya Kandi.
Pak Ustadz tentu tersenyum dengan pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang hampir sering didengarnya ketika seorang dalam keadaan putus asa. "Aku paham kondisimu, Nak. Aku tidak tahu secara pasti mengapa alasannya, tapi yang pasti adalah Allah tidak pernah menciptakan sesuatu tanpa ada manfaat didalamnya. Jika serangga seperti nyamuk ada manfaatnya maka dirimu pun pasti ada"
Nyamuk ?. Bermanfaat ?. Kandi tak pernah tahu apa manfaat dari nyamuk, yang ia ketahui nyamuk itu mengganggu dan hidupnya hanya untuk ditepuk lalu mati. Akan tetapi perumpamaan Pak Ustadz tadi memiliki kesamaan oleh dirinya. Barangkali memang seperti itulah hidup bagi makhluk-makhluk yang kecil. Kecil tubuhnya, kecil kastanya, dan kecil penghasilannya.
"Jika saja daganganku selalu laku mungkin tidak akan ada pertanyaan ini, tapi kenyataanya sungguh berbeda. Dengan berat hati, tumpukan jambu-jambu yang tidak laku harus kubuang dengan sembunyi-sembuyi pada kebun milik orang lain. Lalu untuk hari selanjutnya aku harus memikirkan lagi kebun-kebun baru mana yang aman untuk membuangnya" Ujar Kandi dengan memaksakan senyum agar tidak terlarut haru.
Kandi merubah posisinya yang tadinya tegak menjadi tunduk dengan tangan sebagai tumpuan. Memandang permukaan trotoar dan berkata "Mungkin saja ini adalah balasan Allah kepadaku karena telah mubazir. Tapi di sisi lain mana mungkin aku bisa membagikan kepada orang-orang jambu yang telah busuk"
Setelah mencermati semua pernyataan Kandi tadi, Pak Ustadz merogoh kantung celananya dan mengeluarkan dompet yang berisi sejumlah uang. "Tolong bungkuskan aku satu kilo jambu terlebih dahulu, Nak. Sepertinya aku tidak akan bisa lama di sini".
Kandi segera membungkus jambu-jambu tersebut.
"Kalau seperti ini terus, bisa-bisa anakku ini akan berakhir menjadi tukang jambu biji lagi" Ujar Kandi sambil memberi plastik hitam berisi jambu. Sepertinya ia sudah hanyut dalam percakapan.
"Cobalah untuk memilah ulang kembali jambu-jambu busuk itu, mungkin saja masih ada yang layak untuk dimakan oleh orang-orang tak seberuntung kamu. Setelah itu kamu boleh membuangnya di kebun lagi" Jawab Pak Ustadz lalu memberikan selembar uang pada Kandi.
Kandi hanya terdiam saat mendengar jawaban Pak Ustadz tadi sampai akhirnya ia sadar uang yang diberikan lebih dari harga yang ditawarkan. Sedangkan Pak Ustadz sudah dijemput oleh supirnya.
"Pak.. kembaliannya" Ujar Kandi
"Ambil saja, itu untuk jambu yang kau kupas tadi" Jawab Pak Ustadz dari kaca mobil.
Mobil bertipe van Volkswagen itu melaju perlahan ke arah barat, membelah jalan kota metropolitan sampai akhirnya mengecil menjadi titik dan hilang karena jarak.
***
Tujuh belas tahun berlalu sudah. Tak ada yang berubah dari Kandi dari nasibnya sebagai penjual jambu biji. Keriput mulai tampak dari raut wajahnya, begitupun dengan matanya yang semakin sayu dan kabur. Akan tetapi tidak dengan kota, apalah arti sebuah umur bagi sebuah kota jika teknologi berinang di dalamnya. Jalan yang setahu Kandi hanya bisa dibangun pada permukaan tanah, kini bisa melayang dengan gagah di atas kepalanya. Tentu hal itu membuat volume kendaraan semakin meningkat dan suara bising makin nyata. Beruntung pendengaran Kandi sudah tidak peka sehingga ia tak akan menjadi stres mendengarnya.
"Mau kemana lagi kita, Pak ?"Tanya sang Anak.
Rambut putih Kandi tersapu oleh hebusan angin "Teruskan saja selama masih ada jalan".
Di perjalanannya tersebut ia melihat sebuah trotoar yang hampir mirip dengan tempat berdagang jambunya beberapa tahun silam. Sebuah tempat yang nestapa. Anaknya tak berani memandangi tempat itu. Tempat disaat ia dan sang Anak yang akhirnya terusir karena alasan ketertiban katanya. Saat dimana mejanya dipreteli dengan kaki-kaki tak bertanggung jawab. Jambu-jambunya diangkut oleh segerombolan aparat. Bagi Kandi mereka bukan seperti manusia yang seharusnya berperikemanusiaan, saat itu anaknya berusaha merebut kembali jambu-jambu tersebut namun bukan jambu yang didapat malah pukulan yang melayang ke wajahnya. Mereka bilang bisa ambil di kantor nanti, akan tetapi sesampainya disana jambu-jambu tersebut sudah banyak yang tak layak jual karena penempatannya yang sembarang lempar. Tidak ada solusi terbaik saat itu selain bersabar.
"Sudah setengah jam ita terus berjalan tanpa arah, Pak. Kita istirahat dulu ya. Kebetulan cabang toko buah kita gak jauh dari sini" Ujar Anaknya.
Kandi yang sedang memandang keluar dari jendela samping mobil akhirnya mengiyakan perkataan sang Anak.
Posting Komentar
Posting Komentar