Adakah remaja yang masa mudanya paling kelam selain seorang perantau seperti Ekot. Pergi nan jauh seorang diri meninggalkan pulau Kalimantan demi suatu tujuan yang bahkan dirinya tak pernah tahu akan mencapai apa di luar kampungnya itu. Ia pergi setelah sang ibu tak pernah kembali dari pamitnya untuk mengarit di dekat perkebunan sawit dan ayahnya yang mati setelah di bentur balok kayu di gerbang utama pertambangan. Dengan bermodalkan uang hasil menjual sapi, ia pergi dari pulau yang durjana itu menggunakan kapal feri menuju Jakarta.
Saat kaki-kaki mungilnya menapak pada daratan Jakarta untuk pertama kali, ia tak pernah punya hubungan darah apapun di sana entah itu saudara, sepupu, atau teman sedikitpun, yang ia punya hanyalah uang sebesar enam ratus ribu dalam saku dan setumpuk pakaian pada raselnya. Nahas, dirinya harus terpaksa masuk pada daerah utara Jakarta. Menyewa sebuah kost di Pengasinan dengan tarif sebanding dari sisa uang yang ia punya. Beruntung waktu itu sistem pembayarannya boleh dilakukan setelah akhir bulan. Segala cara ia lakukan untuk bisa membayar sewa kost, mulai dari memisahkan kerang hijau yang baru saja turun dari dermaga, buruh angkut di pelelangan, sampai menjadi kurir ganja. Ya kurir ganja.
Kurang lebih sudah hampir tiga tahun ia ikut terjun di bisnis ilegal itu. Tak pernah ada yang mengetahuinya selain bang Tompel sang pemberi pekerjaan. Ia sebenarnya tahu betul dengan konsekuensi yang dihadapinya, tentang risiko kehidupan. Namun ia terpaksa harus menerima tawaran bang Tompel kala itu sebab tanpa gelar sarjana dan keahlian, mencari kerja halal di Jakarta bagai mencari udara segar di Jakarta itu sendiri.
Kesadaran tentang perlunya meraih gelar sarjana membuat Ekot mendaftar ke salah satu universitas swasta di sekitar Jakarta dan kabar baiknya sekarang sudah berjalan empat semester. Tak banyak yang didapat Ekot di dunia perkuliahan seperti yang didongengkan banyak orang itu selain tumpukan tugas dan pertemuannya dengan sesama anak rantau bernama Ambo yang sekarang tinggal satu kostan di Pengasinan.
"Kot, hari ini ada jam tambahan ?" Ujar Ambo
Ekot menatap dirinya pada cermin sembari sibuk menata rambutnya yang sedikit ikal.
"Sepertinya tidak, tapi aku ada rencana membunuh dosen hari ini. Jadi kau duluan saja"
Ambo tentu terkejut mendengar kata Ekot tadi, namun ia tak langsung balik bertanya tentang rencananya itu. Ambo mencoba mengingat jadwal kuliah Ekot hari ini berserta dengan dosen pengajarnya. Lalu terbesit seorang Pak Afwan, dosen statistika.
"Ada masalah apa kau dengan si Afwan ?" Tanya Ambo seolah-olah tahu betul bahwa Pak Afwan lah alasannya.
Ekot tak menjawab, ia hanya menatap dirinya yang sudah rapih pada cermin bekas itu. Permukaan cermin tak sedikit pun memperlihatkan kebencian pada raut muka Ekot. Hanya menunjukan sepasang mata yang tenang dan datar.
"Hei, Kot, Jawablah atau kita tak usah berangkat ke kampus hari ini!" Ambo mulai naik pitam.
Mendengar kalimat tersebut Ekot berpaling dari cermin dan melirik Ambo.
"Aku tak tahu, sepertinya satu-satunya jawaban pasti yang dapat kuberikan ialah.."
Ia mengeha nafas.
"..Dengan ikut dan menyaksikannya secara langsung" Ujar Ekot.
Gila, pikir Ambo dalam batinnya. Mayoritas mahasiswa di kampusnya memang membenci seorang Pak Afwan tapi selalu berakhir dengan maaf. Ia tak pernah mendengar kasus sampai menuju pada rencana pembunuhan.
Ambo berusaha menyakinkan kembali Ekot tentang rencana bodohnya itu "Berpikirlah secara jernih, Kot. Kita sudah jalan empat semester dna rencanamu akan membuat kita dropout dari kampus. Carilah solusi yang baik"
Ekot menatap lagi wajah ambo dan sekarang wajah tenangnya itu menjelma seperti pembunuh kelas kakap. Lebih tepatnya pumbunuh kelas kakap dengan tambahan psikopat.
"Tak ada kata baik di dunia yang kejam ini, Mbo. yang ada hanyalah cara benar dan membunuhnya ialah cara yang benar" Ucap Ekot dengan yakin.
Pagi mendadak hening dan legang karena kata-kata Ekot. Angin asin memaksa masuk pada kostan yang hanya selebar 4x3 meter itu, menyibak tirai lusuh pada jendela. Dan debu bertebangan memperjelas seberkas garis lurus cahaya dan membuktikan bahwa dirinya adalah koloid.
Sampai pada akhirnya keheningan itu pecah dengan pernyataan Ambo.
"Baiklah, beritahu kepadaku dimana kau akan menghabisi nyawanya dan aku akan ikut membantu"
"Di kelas, pada saat jam pembelajaran sedang berlangsung. Tak perlu mengendap-endap, biarkan mereka melihatnya dengan jelas" Jawab Ekot tanpa keraguan sedikitpun.
Mendengar pernyataan yang semakin gila itu, Ambo mencoba menahan kata-kata jorok pada ujung lidahnya. Ia menarik napas dan mencoba untuk tenang agar rencana lain yang ada dibenaknya berhasil dilakukan. Rencana lain.
"Katakan kepadaku senjata apa yang akan kau gunakan untuk membunuhnya. Jangan bilang hanya dengan tekad dan keberanian. Kita tahu betul Ia adalah pesilat yang mahir" Tanya Ambo.
"Tak perlu banyak bertanya. Kemas saja barang-barangmu dan kita berangkat sekarang"
Lagi-lagi Ambo harus menahan amarahnya.
"Baiklah, tapi kali ini kau kemudikan si Jagur"
Mereka berangkat pukul 08.35. Perjalanan akan memakan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai kampus, itupun kalau jalan sedang legang. Akan tetapi itu jam padat lalu lintas dan perjalanan akan memakan waktu paling lambat satu jam.
Nyatanya motor bebek yang dikendarai Ekot cukup lincah melewati ban-ban tronton yang besar, menyalip dengan bebas di sela-sela mobil pribadi dan mengambil jalan alternatif. Angin bercampur polusi berhembus di wajah dan berhasil berteriak melalui helm half-face mereka.
"Ketika sampai di kelas, kau tunggu saja diluar sebentar dan tunggu aba-aba dariku" Ujar Ekot di tengah perjalanan menuju kampus.
Ambo mengiyakan pernyataan Ekot. Ia tak banyak bicara dalam perjalanan dan hanya sibuk memandang ransel milik sahabatnya. Itu adalah kesempatannya untuk menggeledah ransel milik ekot. Ia buka secara perlahan resleting ransel tersebut agar tak dicurigai dan mulai mencari sebuah alat yang sekiranya bisa dipakai untuk membunuh Pak Afwan. Namun ia sungguh heran, karena tidak ada barang semacam pisau ataupun pistol di dalamnya. Sebab jika benar menemukan barang semacam itu, ia akan membuangnya ke sembarang tempat dan menggagalkan aksi buruk sahabatnya itu.
Dengan keahlian bermotor ekot, akhirnya mereka sampai pada kampus pukul 09.10. Dilihat dari jadwal perkuliahan, itu berarti Ekot terlambat sepuluh menit. Dalam perjalanan menuju kelas, Ekot tetap saja memperlihatkan raut wajah yang tenang. Sebaliknya, Ambo justru terlihat was-was dan sedikit berkeringat.
Langkah demi langkah telah mereka lewati, kelas tempat Ekot belajar statistika telah terlihat di pelupuk mata.
"Ingat lah pernyataanku tadi, Mbo" Ujar Ekot sebelum memasuki kelas.
Ambo pun menganggukan kepalanya.
Namun Ambo punya rencana lain, ia tidak akan menunggu aba-abanya dan akan langsung menghentikan rencana Ekot. Ia akan memaksa masuk saat para mahasiswa di dalam kelas berteriak. Sekiranya itu lah rencananya.
Ambo menunggu dan bersiap beberapa meter dari pintu kelas, akan tetapi tak ada suara kepanikan apapun dari dalam sana.
brakkk!!
Pintu terbuka secara mendadak. Betapa terkejutnya Ambo ketika melihat keadaan berbalik dari ekspektasinya. Terlihat dua orang pria di sana, salah satu pria menjambak rambut yang lain dan menyeretnya ke permukaan tembok. Ambo hanya bisa diam, lalu mengamati sahabatnya itu telah terpojokan. Raut wajahnya masih saja terlihat tenang.
"Beraninya kau menjawab!!!"
Satu tinju dari melayang ke mata kiri Ekot.
Ia hanya membalas dengan menatap tenang ke arah dosen berkepala plontos itu. Kali ini kerah bajunya juga telah dicengkram oleh Pak Afwan. Mahasiswa di sekitarnya hanya menatap kosong kejadian yang tak belum pernah mereka lihat sebelumnya.
"Pak, sabar. Pak" Salah satu dari mereka mencoba memisahkan Pak Afwan tapi segera di dorong olehnya.
"Beraninya kau menatap dosen seperti ituu!!" diayunkan kembali tangan kanannya dan sepertinya siap menghantam Ekot.
Tubuh Ambo yang lumayan tinggi berlari secepat mungkin ke arah Ekot, lalu dengan mengandalkan tubuh dan sikutnya Ia menambrakan diri ke Pak Afwan sampai akhirnya dosen itu tersungkur jatuh ke tanah. Segera ia tarik sahabatnya yang pengelihatannya telah kabur itu untuk menjauh dari lawannya. Sepertinya, tabrakan Ambo tadi cukup membuat Pak Afwan hanya duduk tak berdaya. Ambo segera menggendong Ekot dan pergi mencari tempat aman.
Ia mengendongnya sampai ke belakang kampus, sekiranya itu adalah tempat yang aman. Menyandarkan tubuh Ekot. Kini matanya terlihat mulai membiru.
"Apa yang terjadi di dalam sana, bodoh !!" Teriak Ambo.
"Aku berhasil membunuhnya, Mbo.." Jawab Ekot.
"Apanya yang membunuh, bahkan kau sendiri tak menyentuh dosen itu sedikit pun"
Ekot mencoba menegakan duduknya dan menatap kosong pada dahan pohon-pohon jati.
"Aku berhasil membunuh kesabarannya, mencabik-cabik gelar magisternya, dan berhasil memutilasi gelar Hajinya. Aku sebut itu keberhasilan, sebab seorang berpendidikan tinggi tentu mampu menahan emosinya dan tak akan sampai meninju muridnya sendiri.." Ujar Ekot.
"...Bahkan, sekarang derajat ia lebih rendah dari seorang pengupas kerang hijau sekaligus kurir ganja" Tambahnya.
Posting Komentar
Posting Komentar