Setelah delapan jam bekerja bersama tumpukan kertas, akhirnya Alvan bisa menghirup udara segar. Trotoar telah ramai dengan pekerja yang berlalu-lalang saat ia keluar dari gedung tempatnya bekerja. Sepasang mata lelah berkeliaran dimana-mana. Begitupun dengan Alvan, ia terlihat lusuh seperti kemeja yang dipakainya.
Ia mengeluarkan gawai pintar dari saku celana untuk memesan ojek online. Jari-jarinya tangkas memasukan tempat penjemputan dan lokasi rumahnya. Biasanya ia naik angkutan umum, tapi ia urungkan niatnya sebab ingin cepat beristiharat. Lagipula ini hari dimana ia mendapat gaji, tidak masalah jika harus mengeluarkan biaya yang sedikit mahal.
Sepuluh menit menunggu, ojek yang dipesan pun datang. Menggunakan motor bebek tahun 2000-an. Sudah jadul tapi masih terlihat apik. Pengemudinya kurus, terlihat dari jaket yang ia kenakan terlalu gombrang.
Pengemudi itu menaikan kaca helmnya “Atas nama pak Alvan?”Alvan hanya mengangguk pelan. Lalu menerima helm dan pelindung rambut yang diberikan sang pengemudi.
Setelah semua siap, pengemudi menarik gas memacu kendaraannya. Kecepatan standar, empat puluh kilometer perjam. Suasana jalan kota cukup ramai karena rush hour. Jam pulang kerja. Ingar-bingar suara deru motor memenuhi langit ibu kota.
“Waduh, Jakarta mau pandemi mau engga tetep aja rame terus yaa” Ujar sang pengemudi disela-sela lampu merah.
Alvan hanya menjawab pendek iya.
Lampu hijau pun menyala. Baru sepersekian detik tapi kendaraan mulai berlomba-lomba menekan tombol klakson. Tak sabaran ingin buru-buru. Seperti itulah ibu kota, selalu saja dikejar waktu. Bahkan ketika waktu pulang sekalipun.
“Bapak udah lama kerja disitu ?” pengemudi itu memulai percakapan lagi.
“Iya, lumayan lama” Jawab Alvan.
Knalpot bising motor lewat dengan kencang. Memutus percakapan sejenak.
“Wah pasti enak banget ya kerja di gedung. Tiap hari wangi, ga harus takut kepanasan. Belum lagi kerjanya keren di depan komputer. Idaman para mertua semua” Pengemudi itu terkekeh di akhir kalimat.
“Engga juga pak. Namanya kerja sama aja. Sama-sama capek”
Seketika kalimat pengemudi tadi membuat pikiran Alvan menjadi bercabang. Ia harus memikirkan bagaimana menjelaskan semuanya pada sang isteri di rumah nanti. Belum lagi jika mertuanya tahu. Tentang surat yang ia terima tadi di kantor. Surat Pemutusan Kerja.
“Kalau saja dulu saya belajar sungguh-sungguh, mungkin sekarang saya juga bisa jadi pekerja kantoran seperti bapak. Tapi sayang dulu saya nakal” Percakapan itu mulai menjalar keberbagai arah.
Tidak mau oborolan itu menjadi satu arah, Alvan akhirnya bertanya balik kepada sang pengemudi. Melanjutkan percakapan tadi, sang pengemudi bercerita bahwa dulu ia sering bolos, malas, dan melakukan hal-hal negatif saat duduk dibangku sekolah. Puncaknya di kelas 12 SMA, pengemudi itu dinyatakan tidak lulus. Tidak dapat ijazah. Alvan pun menyayangkan hal tersebut. Percakapan itu membuat dirinya melupakan sejenak surat pemutusan kerja.
“Eh, ngomong-ngomong nih, Pak. Hari ini lagi dapet kerja di kantor atau hanya ada urusan mendadak di kantor?. Setau saya pekerja kantoran ada WFH kan?” Pengemudi itu mengganti topik.
Legang sejenak. Alvan bingung menjawabnya.
“Lagi dapet jadwal kerja di kantor, pak” Ia terpaksa bohong, sebab di kantornya tidak pernah memberlakukan Work From Home yang digaungkan pemerintah akhir-akhir ini demi menekan angka penyebaran Covid-19. Ia tetap harus kerja seperti biasa, mengejar deadline Pak Bos. Tapi besok ia bisa merasakan itu.
Motor bebek itu terus melaju. Untuk ukuran motor yang sudah dua puluh tahun lebih, motor itu cukup gesit melintasi jalan ibu kota. Suaranya masih halus didengar. Pun dengan suspensi yang dimilikinya, masih nyaman untuk meredam jalan yang bergelombang. Sepertinya motor ini dirawat dengan sangat apik oleh si pengemudi.
Sekarang mereka sudah mulai meninggalkan jalan-jalan besar ibu kota. Masuk ke jalan yang lebih kecil. Sesekali Alvan memberikan arah jalan yang lebih cepat dilalui daripada harus mengikuti GPS si pengemudi.
“Ngomong-ngomong, bapak umur berapa ngambil rumah di sana pak?” Pengemudi itu memulai percakapan lagi, ia tentu tahu bahwa Alvan tinggal di kompleks perumahan.
“Dua
puluh lima” Jawab Alvan.
Si pengemudi itu lagi-lagi memuji
Alvan yang sudah bisa beli rumah di umur yang masih muda sekali.
Mereka telah sampai pada gerbang kompleks perumahan. Pengemudi menurunkan kecepatannya untuk mengantisipasi arah yang keliru. Penjaga pos menyapa dengan melaimbaikan tangan ke arah Alvan, seolah yakin betul bahwa itu adalah dirinya. Padahal wajah Alvan tertutup dengan masker.
Karena
jarak yang sudah dekat, Alvan mengeluarkan dompet dan menyiapkan ongkos yang
harus di bayarnya nanti. Lima puluh ribu, itulah nominal yang tertera di layar
aplikasi. Ia pun melipat uang itu menjadi dua lalu menyelipkanya di kantong
kemeja.
Jam tangan Alvan menunjukan pukul setengah Sembilan saat dirinya sampai di depan gerbang rumah, suasana tempat tinggalnya telah sepi. Ruang tamu masih menyala, itu berarti isterinya belum tidur.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga”Kata si pengemudi ojek online
“Makasih banyak, Pak. Ambil saja kembaliannya” Alvan menyodorkan uang kepada pengemudi.
Wajah
pengemudi ojek online itu terlihat heran dengan perkataan Alvan tadi sebab uang
yang diberikan tidak memerlukan kembalian sepeserpun. Alias pas. Pengemudi itu
tidak protes atau merasa kesal dengan candaan Alvan. Ia pun segera merapihkan
uang yang dilipat menjadi dua tadi ke dalam dompetnya. Namun ketika merapihkan
uang tersebut, sesuatu jatuh dari lipatan tersebut. Ternyata benda itu adalah
uang pecahan seratus ribu yang dilipat lebih kecil oleh Alvan.
Pengemudi
tentu terkejut dan segera ingin menemui Alvan untuk meminta klarifikasi
darinya. Akan tetapi Alvan telah masuk ke rumah.
Posting Komentar
Posting Komentar