Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen: Seperti Apa yang Terlihat

    


     Sebagaimana anak kecil sepantarannya, Murphy sangat suka mengamati hal-hal baru. Ia mengamati kupu-kupu yang sedang berterbangan, mengamati semut-semut yang berjalan berbaris sambil mengangkut butiran gula, ataupun mencabut daun-daun dihalammnya. Tapi Murphy kecil punya satu hal yang tidak dimiliki anak seumurannya. Ia jarang sekali menanyakan pertanyaan diluar logika orang dewasa. Menurutnya semua yang telah ia amati hanya perlu disimpan atau dipraktekan. Seperti pada kejadian saat ia mengamati Bibi Imah yang sedang mengulek rempah-rempah, Murphy pun langsung mencabut sembarang daun, menguleknya, dan menyerahkannya kepada Bibi Imah dengan maksud membantu. 

     Murphy tumbuh dengan sempurna. Tidak ada cacat baik dari segi fisik maupun psikis. Lahir dari ibu yang giat kerja sebagai manajer dan bapaknya sebagai perwira tentulah menjadi alasan mengapa ia bisa tumbuh dengan baik. Selain itu, Ia juga anugrahi rumah yang cukup besar. Bertingkat dua dan lantai yang berkelir motif-motif marmer. Namun, semua itu terlalu kecil bagi dirinya.   

    Hanya di waktu pagi hari ia bisa merasakan luasnya rumah. Hal yang paling disukanya adalah ketika ibu sibuk menata sarapan di meja lalu menanyakan makanan yang ia mau. Sedangkan bapaknya akan memberikan ucapan selamat pagi.Di sela-sela sarapan, Murphy tiba-tiba tertarik pada gambar headline koran yang sedang dibaca bapak. Ia melihat gambar polisi-polisi yang sedang berkumpul. Apakah ia penasaran dan akan bertanya kepada bapaknya ?. Tentu tidak, Ia tidak perlu lagi pertanyaan. 

    "Ayo, Nak dihabiskan sarapannya. Hari ini, hari pertama kamu masuk sekolah dasar. Jadi jangan sampai terlambat" Ujar Ibu dengan senyum manis diakhir kalimat.  

    Roti yang disediakan Ibu masih tersisa sedikit lagi agar bisa dihabiskan oleh Murphy. Akhirnya sesuatu yang ditunggu olehnya terjadi. Bapak membalik halaman lain dari koran. Sengaja ia tidak langsung melahap sisa roti cepat-cepat agar bisa melihat gambar di halaman baru itu. Murphy pun kembali melihat gambar aparat berseragam lengkap. 

    Jam telah menunjukan pukul tujuh tiga puluh, Murphy tidak punya alasan lagi untuk mengamati lebih lanjut gambar-gambar pada koran. Lagipula Bapak telah melipat korannya dan telah mengambil kunci mobil untuk dipakai mengantarkan Murphy sekolah. 

    Sekiranya perlu lima belas menit untuk sampai ke sekolah baru Murphy. Di tengah perjalanan, Bapak sedikit memberikan nasihat kepadanya. Sebagai orang tua tentu Bapak tahu betul bahwa anaknya akan melawati masa-masa malu saat pertama kali terjun di dunia baru. Apalagi Ia mengetahui sang anak yang pendiam. Akan tetapi Murphy hanya mendengarkan nasihat itu sebagai angin yang masuk dari telinga kanan dan keluar melalui lubang kiri. Ia lebih tertarik memandang ke arah jalan melalui jendela samping. Sebuah pemandangan baru yang belum pernah ia lewati sebelmunya. 

    Hari itu jalan sedang ramai oleh kendaraan. Mengingat ini adalah hari Senin, orang-orang berlomba-lomba mengejar waktu demi uang saku. Sampai akhirnya pengejaran itu terhenti oleh lampu rambu lalu lintas yang sedang menyala merah. Lagi dan lagi,Murphy kembali melihat sekelompok pria-pria berseragam. Sepertinya kali ini lebih menarik karena semuanya bergerak nyata. Ia melihat salah satu dari mereka memandang pengemudi motor dengan mata yang nyaris keluar dari kelopak dan mulut yang komat-kamit. Ingin sekali ia membuka jendela dan mengetahui suara dari pria itu tapi lampu telah berganti menjadi hijau dan mobilnya kembali jalan. 

***

    Sekolah baru Muprhy cukup bagus. Dari segi ekologis sangat ramah lingkungan. Lapangannya tidak disemen melainkan menggunakan paving block, hal itu memungkinkan air masih bisa menyerap ke dalam tanah. Setiap di depan kelas memiliki halaman kecil berisi macam-macam tanaman hias. Catnya bermainkan degradasi warna hijau sehingga menambah kesan asri. Tak lupa juga sedikit lukisan mural yang merepresentasikan pendidikan. 

    Bapaknya mengantarkan sampai ke pintu kelas lalu membiarkan Murphy memilik tempat duduknya sendiri. Dari balik pintu Ia memandang anaknya begitu bangga, itu terlihat dari senyum yang dilemparkan ke arah Murphy. Tak lama kemudian, suara hentakan sepatu terdengar sayup-sayup. Guru kelas sedang menuju ke arah kelas. Para orang tua yang tadi sibuk mengurus anaknya di dalam akhirnya keluar. 

    Guru itu sudah terlihat sepuh. Terbukti dari guratan kulit pada wajahnya yang tetap terlihat walau telah dilapisi bedak. Satu-satunya yang masih melekat kuat darinya adalah senyum. 

    "Assalammualikum, Selamat Pagi, adik-adikku"Ujar Sang Guru. lalu murid-murid itu pun mejawab salam tersebut dengan serentak. "Selamat datang di sekolah baru ya, Ibu harap kalian tambah senang dan rajin belajarnya. Untuk hari ini kita kenalan dulu ya. Coba mulai dari yang paling depan ini siapa namanya ?"

    Beberapa murid telah memberitahu nama lengkapnya kepada Sang Guru. Ada yang dengan percaya diri dan ada juga yang malu untuk menyebutkan namanya. Sampai tibalah giliran Murphy.  

    "Hai semua. Namaku Murphy Salim"

    Kelas pun penuh dengan kata "Hai, Murphy". Setelah suasana sudah cukup sunyi, guru itu menanyakan sesuatu yang tidak ditanyaka kepada murid lain. 

    "Kamu kalau sudah besar mau jadi apa ?"Tanya Sang Guru 

    "Mau jadi Polisi" 

    "Murphy tau gak tugas pak polisi itu apa sih ?" Guru itu kembali bertanya.

    Pertanyaan itu cukup membingungkan Murphy. Ia sama sekali tidak pernah diberitahu oleh ayahnya tugas Polisi. Maka seketika ia pun teringat lagi gambar-gambar di koran dan kejadian pagi tadi.

    "Memukul, menembak, memarahi dan memborgol orang-orang bu" 

    Seketika kelas hening. Gurunya pun tidak menyangka Murphy akan menjawab pertanyaaan itu dengan lantang. Suasana sedikit canggung tapi guru itu mengalihkannya dengan senyum. Walaupun kenyataan berkata lain, Sang guru terpaksa mengkoreksi tugas-tugas Polisi sebagaimana lumrahnya. 

    

    

    

    

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter