Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen : Tenggelam



     Waktu itu Aku baru saja pulang sekolah. Membawa setumpuk ilmu dan kegembiraan karena nilai yang  nyaris sempurna dimata pelajaran matematika. Berharap di ladang sana bapak dan ibu akan senang saat kuberitahu. Tak sabaran dengan hal itu, aku pun menggenjot sepeda dengan cepat. Saat itu sepeda mengerti betul perasaanku, tak ada rantai yang lepas sekalipun atau ban yang pecah selama perjalanan. 

    Namun ketika sampai di ladang, tak sedikit pun aku melihat salah satu dari mereka. Hanya ada kantung berisi bibit padi dan gelas-gelas kosong di gubuk. Kantungnya juga masih terisi penuh sedangkan matahari sudah tinggi. Tak ada sedikitpun bibitnya yang dituai ke tanah. Mencoba memastikan lagi dengan memandang sekitar ladang, barangkali mereka sedang membantu teman-teman petaninya. Akan tetapi aku tetap tidak bisa menemukannya. Aku pun mengambil sepeda dan meninggalkan ladang, pergi  menuju rumah.  

    Pintu sudah terbuka setengah ketika aku sampai rumah. Entah mengapa aku merasakan hal aneh melihat terbukanya pintu itu. Kusandarkan sepeda disamping rumah dan mulai masuk ke dalam. Keanehan semakin bertambah saat kulihat ruang tamu yang terlihat sangat berantakan. Kaleng-kaleng berisi rangginang jatuh berserakan di lantai, ada juga beberapa pecahan gelas di sana.

    "Bram.."  Suaranya terdengar getar saat memanggil namanku. Aku kenal sekali dengan suara itu. Walaupun di luar sedang terik entah mengapa tiba-tiba tubuh terasa dingin mendengarnya. Prasangka buruk seketika menyelimuti seluruh indra perabaku. Mengingatkanku berita-berita hangat akhir-akhir ini. Aku pun menoleh kearah sumber suara dan benar saja dia adalah Kinan. 

    "Kamu dipanggil oleh Pak Kades" Butuh beberapa detik untuk Kinan menyampaikan pesan itu. Jantung rasanya berdebar begitu kencang karena penasaran. Tanpa bertanya balik, akupun langsung menuruti perintahnya.

    Sengaja aku tidak menggunakan sepeda untuk pergi ke rumah Pak Kades dan memilih berjalan seperti biasa agar bisa meredakan rasa panik. Lagipula rumah Pak Kades tidak terlalu jauh dari rumah. Ia terlihat sedang menuangkan minum dari poci saat aku telah menginjak halaman rumahnya "Kamu pasti baru saja pulang sekolah ya, Bram. Duduklah disini sebentar. Kinan tolong ambilkan kue manis di dapur" Entah mengapa raut  wajah Pak Kades tidak terlihat sama dengan Kinan. Ia hanya melemparkan wajah datar saja sedangkan Kinan masih terlihat cemas saat meninggalkanku dengan Bapaknya di teras rumah. 

    Aku sama sekali tidak menyentuh minuman yang telah disajikan Pak Kades. Kali ini kami duduk berhadapan, Pak Kades melempar senyum sebentar dan berkata "Bagaimana tadi sekolahnya ?, Lancarkah ?." 

    "Langsung saja Pak, apa yang terjadi dengan Ibu dan Bapak saya ?"Sungguh aku tau perkataan tadi memang kurang sopan tapi basa-basi Pak Kades sungguh tidak akan membuat situasi hatiku semakin baik. Aku bukan lagi anak Sekolah Dasar yang polos lagi.  

    Seketika raut wajah Pak Kades berubah seratus delapan puluh derajat. "Bapakmu ditikam para jagal suruhan. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut"

    "Bagaimana dengan Ibu" Tanyaku. 

    "Ibumu selamat. Ia juga di sana, menemani Bapakmu" 

        Saat itu Aku sama sekali tidak berpikir tentang penyebab mengapa Bapak bisa menjadi salah satu incaran jagal suruhan yang ada hanyalah kecemasanku tentang kondisinya di rumah sakit. Begitupun dengan Ibu, aku tak bisa membayangkan betapa sedih dan traumanya beliau saat melihat secara langsung aksi penikaman itu. Tapi apalah arti kecemasan jika ternyata fakta telah berkata lain. Fakta bahwa Bapak telah tiada. 

 *** 

     Sebuah tenda yang biasanya digunakan untuk pernikahan dialihkan menjadi naungan permusyawarahan antara dua pihak. Di panggung terlihat orang-orang berpenampilan rapih duduk di sana menjelaskan topik yang sedang dipermasalahkan, mencoba meyakinkan lawan bicaranya. Sedangkan para warga duduk dan mendengarkan dengan saksama. Mata-mata mereka menggambarkan kecemasan dan keraguan. Mereka masih tidak percaya bahwa desa mereka akan ditenggelamkan. 

    "Ibu dan Bapak sekalian, Saya tahu ini adalah keputusan yang rumit bagi kita tapi saya berani jamin, kami pihak penyelenggara akan dengan adil mengganti kerugian sesuai dengan peraturan yang berlaku"Ujar Pria berdasi itu. 

    Seorang dari kursi plastik terlihat menyela dengan menunjuk tangan kepada pihak penyelenggara. "Bapak menteri yang terhormat, saya pikir uang triliunan yang kalian tawarkan tidak akan pernah bisa setara dengan tanah subur, udara sejuk, dan kearifan lokal di desa ini. Tidak semua bisa diselesaikan begitu saja dengan uang, Pak". Suara-suara pun 

    "Tapi ini demi kemajuan dan kemakmuran negeri. Tidakkah kalian memikirkan saudara-saudara kita di sana yang setiap musim penghujan selalu dihantui bencana banjir" Sanggah Pak Menteri.

    "Tidak ada yang menjamin dengan dibangunnya bendungan ini akan berhasil mengatasi banjir disana, sedangkan tempat kami telah direlakan tergenang terlebih dahulu"

    Musyawarah berlangsung alot, banyak pendapat, penolakan, dan kritik dilayangkan kepada pihak kementerian. Akhirnya mereka menaikan uang ganti rugi yang awalnya seratus lima puluh juta menjadi dua ratus juta untuk setiap tanah. Dengan syarat warga harus punya bukti sertifikat tanah. Voting pun dilakukan untuk sampai pada kesepakatan. Hasilnya lebih dari separuh warga yang hadir menyetujui tawaran tersebut. Uang bukan menjadi alasannya namun mereka tahu bahwa bagaimapun mereka harus mengalah jika wakil negara sudah berencana. Dan dari sinilah awal kelicikan itu dimulai. 

       Bapakku yang memilih tidak setuju dengan kesepakatan itu, mendirikan sebuah aliansi penolakan terhadap pembanguan bendungan. Bersama dengan teman-teman sepemikirannya memasang banyak spanduk bernarasikan keresahan pada dinding-dinding bendungan yang sedang dibangun. Ia tak henti-hentinya memasang spanduk yang sama walaupun beberapa kali dicopot oleh kawanan aparat. 

    Pihak berwenang akhirnya bertemu dengan Kepala Desa untuk menyelesaikan keonaran yang dibuat kawan-kawan aliansi Bapak. 

    "Pak Kades, sudah beberapa kali mereka mengganggu pembangunan yang sedang berlangsung. Kalau seperti ini kami akan memutuskan kesepakatan yang sudah dibuat. Jika ini tidak segera diselesaikan maka terpaksa uang relokasi untuk warga akan kami kurangi"Ujar salah satu delegasi pemerintah. 

    "Tolong beri saya waktu satu minggu  untuk menyelesaikan permasalahan ini. Saya akan berbicara  dengan mereka"Balas Pak Kades. 

       Pak Kades pun melaksanakan janjinya. Melalui perwakilannya, mereka mendatangi rumah para anggota aliansi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun bukan mulut mereka yang berbicara melainkan parang-parang yang menghujam leher para anggota aliansi. 

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter