Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen: Lelaki yang Menangis pada Pelukan Pelacur

    

    Malam hari adalah waktu dimana Aku harus mencari lembaran uang untuk menyambung hidup. Lahir dalam keadaan keluarga yang kurang beruntung, mengharuskanku menempuh jalan karir sebagai seorang perempuan bejat yang melayani nafsu dari banyak laki-laki. Namun pilihan ini bukanlah berasal dari lubuk hati terdalamku. Aku yakin, tidak pernah ada satu pun perempuan yang bercita-cita menjadi seorang pelacur sepenuhnya. Mereka, termasuk Aku, terpaksa  menjalaninya karena tidak pernah merasakan adanya suatu hal yang bernama "Pilihan". Seolah-olah hidup hanya memberikanku satu jalan untuk bertahan. 
    Seperti biasa, Aku mulai pekerjaanku dengan membuka aplikasi kencan, lalu Aku ubah kolom deskripsi dengan kalimat 'Tidak menerima basa-basi'. Tak perlu menunggu lama, belasan pesan langsung masuk ke akun milikku. Teknologi memang memudahkan segalanya. Berkatnya Aku tidak perlu repot-repot memangkal pada gang-gang sempit dan gelap dengan pakaian ketat. Lihatlah, bahkan sekarang Aku menggunakan pakaian piyama pun banyak laki yang minat kepadaku. 
    Jari-jariku kini menari di atas layar, memberikan harga yang kupunya. Kebanyakan dari mereka membalas dengan menawar harga yang telah kupasang. '350 ?...400 ?... 500 dua jam deh', Adapula yang mengatakan bahwa harga yang kupasang terlalu mahal. Aku tidak pernah ambil pusing oleh perlakuan para lelaki seperti itu, cukup dengan tidak membalasnya maka selesai sudah. 
    Diantara ketidakjelasan pria-pria itu, mataku tertuju pada satu akun yang mengirimiku pesan 'Tolong datang ke apartemenku malam ini, akan kubayar berapapun harga yang kau tawarkan'. Lalu pria tersebut mengirimiku alamat apartemen beserta nomer kamarnya. Sebenarnya Aku ragu menerima tawaran yang pria itu berikan sebab Ibukota penuh dengan orang-orang jahat. Namun dilain sisi aku juga perlu uang untuk membayar tagihan bulan ini. 
    Akhirnya Aku putuskan untuk menerima tawaran itu. Lagipula alamatnya tidak begitu jauh dari kediamanku. Hanya perlu naik ojek satu kali. Akupun mulai bersolek di depan cermin, memoleskan segala jenis make-up yang kupunya. menata rambut sedemikian rupa agar terlihat lebih menarik. Namun, dandanan kali ini tidak akan terlalu wah sebab nantinya juga akan berantakan lagi. Setelah semuanya selesai aku langsung memesan ojek langgananku, Gibran.
    Gesit sekali Dia datang ke kediamanku. Sepertinya dia sedang butuh uang jajan untuk membeli sebungkus rokok. Dia menekan beberapa kali klakson motornya. Sebuah sinyal untuk memberitahuku agar lebih cepat berdandan. 
    Di luar, aku menunjukan alamat dari layar ponselku kepada Gibran. Aku tidak bisa berbicara dengannya secara langsung sebab Dia memiliki gangguan pendengaran. Tanpa basa-basi Ia pun langsung mengantarkanku ke tempat tujuan, melesat dengan cepat menembus dinginnya malam. 
    Apartement itu cukup mewah jika dilihat dari luar. Aku yakin, pasti hanya pekerja kantoran atau PNS saja yang mampu menyewa apartemen ini sebagai tempat tinggal. Perlahan aku pun mulai masuk ke gedung itu. Tepat sekali waktunya, pintu lift terbuka. Tidak ada siapapun di dalamnya. Kutekan tombol nomer 12. Lift mulai bergerak, menyapu keheningan digantikan suara desingan. 
    Sebuah lorong dengan lampu-lampu temaram langsung menyambutku ketika pintu lift kembali terbuka. Cukup menyeramkan tapi tidak lebih seram dari kehidupanku selama ini. Suara hentakan sepatu heels ku begitu nyaring memantul ke segala sudut ruangan. Sepintas aku terpikir sebuah peratanyaan, adakah rekan seprofesiku yang sedang mendapat orderan di apartment ini?
    Sampailah Aku di depan kamar pelangganku. Aku coba mengetuk pintunya. Tak lama muncul dari balik pintu seorang lelaki, mungkin seumuranku. Penampilannya terlihat berantakan sekali, rambut tak tertata dengan rapih, dan yang paling menonjol dari semua itu adalah matanya yang terlihat lelah menahan setumpuk gejolak. Lelaki itu benar-benar berbeda dengan lelaki yang pernah kulayani sebelumnya. 
    Ia mempersilahkanku masuk ke dalam dan langsung mengunci pintu kamarnya. Aku menelaah sekitar ruangan yang begitu berantakan. Sampah bekas camilan dan botol-botol minuman keras bercecer di ruang tamunya. Aku masih berdiri menunggu dipersilahkan duduk olehnya, akan tetapi lelaki itu hanya menatapku.
    Kami pun kini saling tatap. Sungguh Aku tidak tahu apa maksud dari tatapanya, berbeda sekali dengan tatapan nafsu seorang lelaki yang telah kutemui sebelumnya. Namun perlahan wajahnya berubah menunjukan sebuah emosi yang lelaki tak pernah mau diakui keberadaannya. Sebuah emosi yang jika dikeluarkan akan direndahkan oleh sesama lelaki. 
    Sampai pada puncaknya, Dia bergegas memeluku dengan sangat erat dan menangis sejadi-jadinya sampai Aku bisa merasakan tetesan air matanya yang perlahan mengalir pada lekukan pundaku.  
      Dia menarik nafas sejenak dan berkata "Dunia sungguh kejam bagi orang-orang kesepian sepertiku". Dua jam hanya melayaninya berpelukan. Bajuku tetap rapih, begitupun dengan dandananku. 
~~~
    
    

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter