Matahari belum menampakan cahayanya saat Aku terbangun. Sosok wanita disamping dipanku masih duduk terlungkup dan menenggelamkan wajahnya pada sela-sela tangan yang terlipat. Dari rambutnya aku bisa mengenali bahwa wanita itu adalah sahabatku Clary. Dari sekian banyak wanita yang kukenal, hanya dialah yang memiliki rambut hitam yang cantik. Begitu lurus dan terawat, terpan cahaya lampu membuatnya tampak mengilat.
Hari ini adalah hari ke- 3650, Aku berbaring disebuah bilik yang hampir setiap waktu selalu berbau antiseptik. Entah berapa biaya yang telah dihabiskan untuk operasi dan perawatan stroke yang aku alami. Mungkin ratusan juta atau bisa juga milyaran. Terkadang sering terbesit dilubuk hati sebuah pertanyaan mengapa Tuhan begitu lama mempertahankanku di dunia ini dengan kondisi separuh tubuhku yang lumpuh.
"Hoahhh..Loh kamu sudah bangun. Seharusnya kamu bangunkan saja Aku Tha. Baiklah biar ku ambilkan air putih" Clary terlihat bersemangat sekali padahal Ia baru saja bangun dari tidurnya. Aku hanya melempar senyum kepadanya sebagai tanda terima-kasih.
Aku mengambil sebuah buku kecil dan pena. Kedua benda tersebut Aku gunakan sebagai media komunikasi. Mulut dan lidahku tentu masih ada, namun sekarang fungsinya berkurang. Kedua organ itu tak lebih hanya berfungsi sebagai alat pencacah makanan. Aku tulis beberapa kalimat di buku itu dan kuserahkan kepada Clary.
Setelah menerimanya, Clary hanya melempar senyum iba kepadaku dan berkata "Nanti akan kujelaskan Tha. Sekarang kamu sarapan dulu ya".
Kedatangan Clary secara tiba-tiba ke rumah sakit tentu membawa informasi tentang perusahaan yang kupunya. Selain bersahabat, di perusahaan Dia merangkap sebagai manajer. Aku masih tidak percaya bahwa perusahaan itu masih berdiri sampai sepuluh tahun. Bahkan dari laporan terakhir yang Dia berikan, perusahaan itu sekarang telah berkembang pesat. Harga saham di bursa efek, melesat tajam dari hitungan ratusan sampai ke angka ribuan per lembarnya dan itu hanya memerlukan waktu yang singkat.
"Baiklah Thal. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaanmu tentang kabar perusahaan. Semoga kamu tidak terkejut mendengarnya" Ujar Clary.
Sebenarnya aku tidak terlalu peduli apa yang ada di sana. akan tetapi aku harus menghargai kedatangnya ke rumah sakit tengah malam dan rela tidak mengganggu tidurku sampai pagi hari tiba.
"Ayah tirimu kemarin mengajukan penanaman modal ke sejumlah perusahaan yang menurutnya bagus dalam jangka panjang. Aku sendiri sebenarnya tidak setuju dengan pengajuannya tersebut karena semua perusahaan yang diajukannya mempunyai resiko tinggi. Aku sendiri tidak menyangka pengambilan keputusan dalam rapat itu mendapat suara lima puluh persen dari seluruh jajaran di perusahaan kita. Karena hasilnya yang imbang, aku selaku representatif dari dirimu belum memberikan suara terkait hal itu. Inilah maksud kedatangaku ke sini. Meminta suara dari kamu. Bagaimanapun juga aku dan kamu adalah satu suara yang tidak bisa dipisahkan".
Aku kembali menulis pada sebuah kertas lalu memberikan kepada Clary.
Dia membacanya dengan cepat lalu merespon "Aduh Tha, dari penjelasan yang aku katakan tentu aku tidak setuju. Karena itu terlalu riskan"
Dari penjelasan yang begitu logis, tentu dia benar. Namun aku tahu betul dengan kebejatan yang akan dilakukan si brandal bajingan itu. Dia selalu mengambil peluang keuntungan dari kondisiku sekarang ini. Sekarang saatnya aku mengambil tindakan tegas. Aku memilih setuju.
Clary tentu melemparkan wajah keberatan terhadap keputusan yang Aku buat. Namun keputusan itu belum final. Aku kembali mengambil secarik kertas dan mulai menulis kembali tentang hal-hal yang harus dilakukan Clary. Kertas ini mungkin akan menjadi sebuah wasiat terakhirku.
Di dalam kertas itu Aku menulis sebuah permohonan kepada Clary untuk segera mengangkat ayah tiriku menjadi direksi perusahaan sebagai penggantiku. Lalu, setelah beberapa minggu pengangkatan, aku meminta Clary mengajukan pengunduran diri dan segera pergi ke luar negeri setelah mencairkan cek yang aku berikan.
"Walaupun Aku tidak tahu maksud dari rencanamu Thalia tapi aku tidak akan membantahnya sedikitpun" Ujar Clary setelah membaca tulisan yang Aku berikan.
Syukurlah Dia bisa mengerti. Aku berharap suatu saat nanti Clary akan menemukan maksud dari keputusanku yang memang terlihat gegabah dalam mengambil keputusan. Sungguh memang berat rasanya memberikan perusahaan yang telah kami rintis dari nol bahkan bisa dikatakan kurang dari nol. Akan tetapi aku percaya jika niat seseorang baik maka akan semakin baik pula perusahaan itu, begitupun sebaliknya.
***
Jika teringat dengan wasiat Thalia, Aku menjadi sering melamun agar bisa menemukan maksud dari rencanya. Usaha yang telah kami rintis dengan keringat dan jerih payah, secara cuma-cuma Dia berikan kepada ayah tirinya yang bahkan tak pernah memberinya nafkah sedikit pun sejak perpisahan keluarga kandungnya. Aku ingat sekali waktu pertama kali bertemu, dengan muka layunya Dia mengetuk pintu rumahku dan memohon agar diberikan sepiring nasi.
Peristiwa yang paling membuatku miris adalah ketika ujian kelulusan,Thalia menghilang begitu saja dari muka bumi. Sempat kudengar kabar angin Ibunya pergi bersama dengan lelaki barunya, sehingga membuat dirinya tidak bisa membayar tunggakan biaya sekolah.
Dan secara ajaib setelah 10 tahun berlalu Aku melihatnya kembali di gerai makanan sederhana yang ternyata Thalia lah pemiliknya. Waktu itu gerainya masih sempit, karyawannya hanya Thalia seorang diri. Dia memasak dan menyiapkan dagangannya secara mandiri. Lalu Dia menawarkanku untuk bekerja sama merintis usaha itu. Walaupun upah yang diberikan dari hasil berdagang tidak besar, setidaknya Aku telah mendapat pekerjaan dan bisa menutupi kesedihan akibat sulitnya mencari pekerjaan di Ibu Kota.
Thalia adalah wanita yang gigih. Aku rasa tidak ada yang bisa menyaingi bangun paginya. Pada pukul tiga pagi, Dia sudah rapih dan lekas pergi ke pasar untuk menyiapkan semua bahan makan yang akan di jual. Mungkin itu semua adalah satu-satunya cara agar kenangan buruk masa lalunya bisa Dia hindari.
Namun sayang, orang baik seperti Thalia harus kembali kepangkuanNya dengan cepat. Kompikasi yang parah adalah penyebabnya. Beruntung sekali Aku bisa menjadi satu-satu orang yang mengetahui kepergiaanya. Pada surat terakhir yang dia tuliskan, selain dua permintaanya Dia juga meminta agar Aku merahasiakan kematiannya bahkan dari Ayah Tirinya sekalipun.
Sungguh sedih rasanya jika mengingat semua kenangan yang Thalia berikan kepadaku. Dia wanita yang baik. Bahkan saat jasadnya sudah tidak ada di bumi. Wasiatnya yang memintaku agar pindah ke luar negeri, merubah kehidupanku menjadi lebih baik. Aku tidak menyangka bahwa Thalia begitu perhatian tentang nasibku. Dia tahu betul tentang mimpiku agar bisa pergi ke luar negeri, bahkan karena wasiatnya itu saat ini Aku bisa bertemu dengan pendamping hidup.
Sepintas lamunanku tentang Thalia terpecah akibat suara dering telpon di meja. Aku melihat layar yang menyala dan bergetar. Ternyata telpon itu dari nomer yang tidak kusimpan. Setidaknya ini adalah telpon yang kesekian kali. Walaupun agak ragu mengangkatnya, kali ini aku mencoba memberanikan diri untuk menerima panggilan masuk itu. Mungkin saja teman lama.
"Halo, Clary. Syukurlah kamu mengangkat telpon dari orangtua yang menderita ini" Aku kenal sekali suara ini. Nadanya terdengar seperti orang yang akan meminta bantuan.
Aku hanya menjawab singkat sapaannya. Lalu dia melanjutkan perkataannya "Clary... Sepertinya tamat sudah perusahaan ini. Kami terlilit banyak sekali hutang. Tolonglah.. Sekarang Bapak sadar bahwa hanya kalian berdualah kunci kesuksesan selama ini. Temani bapak untuk menyampaikan ini pada Thalia, ya. Bapak rindu sekali dengannya. Kirimkan alamat rumah sakit tempat Thalia dirawat".
"Thalia sudah tiada" Jawabku dan segera menutup telpon itu.
Terjawab sudah sekarang semua alasan wasiat yang diberikan Thalia.
Posting Komentar
Posting Komentar