Hari belum terlalu gelap tapi lampu-lampu jalan berwarna jingga itu sudah siap menyala menerangi sekitar. Bulan sabit di langit samar-samar menampakan kehadirannya, menunggu giliran pada matahari yang belum juga selesai memamerkan keindahan warna jingga keemasannya yang dahsyat. Di bawah panggung pergantian antara bulan dan matahari itu ada sosok seorang pria dengan berpakaian rapih menunggu kedatangan bus di halte. Hanya ada dia di sana. Kakinya terlipat menyilang dan jari-jarinya sibuk memijat-mijat layar di ponsel keluaran baru. Sesekali pria di halte itu melirik ke kanan dan ke kiri, berharap bus yang ditunggunya menampakan diri dari kejauhan. Kegelisahan pun mulai muncul di wajah pria itu.
Sepuluh menit menuggu akhirnya bus patas AC yang ditunggu sang pria datang juga. Dia pun langsung beranjak dari tempat duduk halte dan bergegas masuk ke dalam bus. Seperti biasa, bus itu penuh dengan orang-orang yang baru saja pulang dari tempat kerja, memaksa sang pria untuk berdiri di antara impitan badan karyawan kota. Bus patas AC mulai bergerak melaju. Penumpang yang tidak mendapat tempat duduk mulai berpegangan pada batang-batang besi di atas kepala mereka. Sesekali bus tersebut berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Ada juga beberapa pengamen yang memaksa bernyanyi di sesaknya kabin bus, menambah hiruk-pikuk perkotaan. Jika bus patas ac itu adalah makhluk hidup juga barangkali ia sudah merasa mules dan segera ingin buang hajat.
Pria itu turun di depan pusat perbelanjaan modern. Dia mempercepat langkah kakinya untuk menuju pintu masuk. Melirik ke sekitar untuk menemukan orang yang hendak dia temui. Namun sayang orang itu tidak menampakan batang hidungnya. Pria itu tetap berusaha, kali ini dia mencoba menelpon ke nomor orang yang bersangkutan. Sekali, dua kali, tiga kali, nomor yang dituju tidak aktif. Berbekal pengalaman yang dipunyanya, dia memutuskan untuk lari ke arah basement pusat berbelanjaan itu dengan melewati tangga darurat. Tidak lama kemudian terlihatlah punggung orang yang dia cari. Orang itu berjalan anggun dengan memakai sepatu heels dan rok di bawah lutut. Pria itu langsung menghampirinya dan langsung menepuk bahunya.
Wanita itu pun reflek membalikan badannya.
"Dewi, Aku mohon untuk kali ini beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya"Kata pria dengan nama lengkap Priyanto Suhada itu.
Dewi masih tidak menyangka bahwa pria yang sekarang adalah mantan pacarnya kini ada dihadapannya. Seketika mengingatkannya pada momen penuh kesedihan beberapa bulan lalu. Wajah kesal muncul pada raut Dewi saat dihadapkan pada sumber kesedihannya. Dia sempat menatap Priyanto tapi buru-buru membuang mukanya dan mempercepat langkahnya ke arah parkiran.
"Dewi, aku hanya butuh waktu sebentar. Tolonglah" Priyanto memegang tangan Dewi berusaha untuk bernegosiasi dengannya.
"Kedua mataku sudah cukup untuk menyimpulkannya" Ujar Dewi.
"Aku mohon, Dew. Sepuluh menit aja"
"Baik, silahkan. Sepuluh menit dimulai dari sekarang" Balas Dewi.
"Jangan di sini. Gak enak dilihat banyak orang. Kita bicara di dalam saja ya. Di Salaria. Aku yang traktir"
Dewi menghela nafas sejenak untuk menimbang kembali tawaran Priyanto. Sampai akhirnya Dia mengiyakan tawaran tersebut.
Mereka berdua kembali masuk ke dalam pusat perbelanjaan modern itu. Dewi dan Priyanto terlihat seperti pasangan, Mereka berdua memang pasangan tapi itu sudah tiga bulan yang lalu dan berkunjung kembali ke resto yang sama. Resto dimana Priyanto mengungkapkan isi hatinya.
Resto itu terletak di lantai atas mall. Trik marketing sederhana yang tersebar di setiap pusat perbelanjaan modern di kota-kota besar. Tujuannya supaya para pengunjung melewati toko-toko baju dan pernak-pernik lainnya terlebih dahulu, dengan begitu pengunjung akan tergiur oleh barang-barang tersebut dan membelinya. Akan tetapi itu semua tidak berlaku bagi mereka berdua sekarang sebab Priyanto ingin segera menyampaikan sesuatu sedangkan Dewi ingin cepat pulang dan menangis.
Salaria cukup penuh di jam pulang kerja. Beruntung Priyanto masih mendapatkan kursi kosong untuk mereka berdua. Priyanto langsung memesankan makanan dan minuman yang sama.
"Baik, kita sudah sampai di sini. Sekarang waktumu sepuluh menit" Kata Dewi dengan nada sinis.
"Makanannya belum datang loh"
"Terlalu lama, kamu bisa take away pesananku untuk keluargamu di rumah" Balas Dewi.
Priyanto menghela nafas sejenak lalu berkata "Okay. Pertama aku mau minta maaf ke kamu karena semenjak kamu melihat kejadian itu dan memutus hubungan kita, aku belum sempat minta maaf. Tapi satu hal yang harus kamu tahu. Apa yang kamu lihat bukanlah seperti yang kamu kira. Perempuan itu teman kerjaku. Kebetulan kami berdua ditugaskan untuk menemui manajer di salah satu toko di mall itu. Atasanku yang menyuruh, aku tidak bisa mengelak"
"Lalu, apa yang kamu harapkan setelah menjelaskan kejadian itu?" Balas Dewi.
"Aku mau kita menjalin hubungan lagi. Jujur, ini memang salahku tapi aku merasa bahwa hubungan kita sudah terlanjur lama. Kita sudah lewati masa-masa sulit bersama. Aku yakin masalah ini juga diselesaikan dengan baik-baik" Priyanto pun langsung menggenggam tangan Dewi, mencoba meluluhkan hatinya.
"Aku hargai permintaan maafmu tapi aku tidak bisa meneriwa tawaran kamu. Aku tidak membaca buku dengan akhir yang sama"
Priyanto menyandarkan diri sejenak setelah mendengarkan respon dari Dewi. Dia menata rambutnya dan kembali menegakan badan untuk memulai bicara lebih serius.
"Dewi, dengarkan aku. Kamu keliru dengan perumpamaan buku itu. Buku itu belum selesai kita tulis. Kita adalah penulisnya. Anggap saja sekarang kita sedang hiatus untuk menulis kembali cerita tentang perjalanan hubungan kita. Tapi ini belum akhir. Kita adalah penulisnya dan penulis bisa merevisi cerita-ceritanya. Penulis juga bisa memutuskan untuk melanjutkan ceritanya lagi. Jadi mari kita buat cerita lagi bersama-sama"
"Aku mau membuat ceritaku sendiri. Terima kasih jamuannya" Ujar Dewi dan beranjak pergi.
Priyanto pun menyerah.
Posting Komentar
Posting Komentar