Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen : Pecundang Jilid 2



    Aku tetaplah menjadi seorang pecundang. Hanya saja umurku bertambah empat tahun dan telah pergi jauh dari kota penuh siksa, Jakarta Utara. Di kosan yang hanya seluas 9x7 meter dan berteman dengan sepi. Tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di ruangan sempit ini selain menghabiskan waktu selama 7 jam untuk tidur. Sisanya tentu kuhabiskan untuk bekerja menyambung hidup supaya tidak mati dalam keadaan sedih. Walaupun waktu kerjaku terdengar seperti budak tapi aku menikmatinya. Memang melelahkan tapi lebih meletihkan lagi jika harus mengingat-ingat tentang dia yang mungkin sedang asik dengan segerombolan lelaki di kota jahanam sana. Dia jugalah yang menjadi alasan kuatku untuk berhijrah ke tempat ini. Kalau saja bukan karena kesedihan mungkin aku tidak akan pernah menginjakan kaki ke dataran tinggi ini. Saat itu memang murni kesalahanku yang tak sengaja jatuh cinta dengan wanita. Seorang wanita berambut panjang sebahu dengan kulit putih yang kecoklatan. Aku tak menyangka pertemuan yang barangkali hanya bisa dihitung dengan jari itu, kini menempel di memori otak dengan lekat. 

    Ada satu pertemuan yang menurutku paling berkesan. Sore itu hujan turun dan sekolah sudah sepi menyisakan kami berdua. Aku sedang mengotak-atik motor butut agar bisa hidup dan dia sedang sibuk menatap gelisah rintik hujan di tepi lorong sekolah. Beruntung motor supra 110 cc ku menyala dan tanpa basa-basi aku tawari dia tumpangan secara cuma-cuma. Dia menerima tawaran yang aku berikan dan perjalanan pun dimulai. Sayangnya, sepanjang perjalanan tidak ada adegan seperti di flm Dilan 1990 yang mana Milea dan Dilan saling berbincang di bawah guyuran hujan sambil memamerkanya kemesraanya kapada Bandung. Wanita yang kutumpangi itu aman dari air sebab jas hujan kalelawar yang aku punya mampu menutupi bagian kepala hingga lututnya. Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mulutku, sesekali aku hanya memastikan arah jalan ke rumah wanita itu. Jujur aku iba dengannya yang harus melewati hujan dengan seorang pecundang. 

    "Makasih ya. Kamu gak mau mampir dulu?. Aku bisa buatkan kamu teh manis hangat" Sekiranya itu adalah kata-kata yang keluar dari Dia setelah sampai di kediamannya. Tentu saja aku menolaknya, seorang pecundang sepertiku tidak pantas untuk menginjakan kaki di rumah wanita cantik, apalagi harus direpotkan dengan dibuatkan teh manis hangat. Aku pun pamit darinya dan segera bersiap menancap tali gas untuk pergi. Namun sial, motor butut yang kupunya tiba-tiba mati. Terpaksa kuparkirkan motor butut itu tak jauh dari rumahnya. 

    "Sepertinya motor itu mengerti kesehatan tuannya" Sedikit terkejut aku mendengar ucapan itu saat sedang mencoba mengotak-atik motor. Aku kira dia sudah masuk ke dalam. Ternyata salah, kini wanita itu bersama dengan ibunya memandang ke arahku. 

    Merasa tidak enak hati karena sudah ditawari dua kali, aku memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Di halaman rumah, Ibunya menatapku sambil melipat kedua tangannya dan melempar senyum kepadaku. Aku yang hendak menyaliminya jadi bingung. Apakah dia tidak bersedia disalimi oleh pecundang sepertiku?. 

    "Anak muda yang bertamu ke sini wajib bersalaman seperti ini" Wanita umur lima puluhan itu mengepalkan tangannya. Aku tahu cara bersalamannya. Itu adalah cara bersalaman ala anak tongkrongan seumuranku. "Nah seperti itu, sekarang silahkan masuk. Kita ngeteh di dalam".

    "Tidak usah repot-repot bu. Di sini saja" selain agar tidak merepotkan aku juga tidak mau mengotori rumah ini dengan noda-noda pecundang yang melekat ditubuhku. 

    "Baiklah kalau begitu. Nona cantik kenapa lama sekali membuat teh hangatnya!!" Ucap sang ibu dengan nada cukup kencang ke arah dalam rumah. Aku sejenak ikut melirik ke dalam rumah juga. Dari dalam rumah, aku melihat wanita itu berjalan anggun membawa nampan yang berisi dua gelas teh yang uapnya masih meluap-luap. Wajahnya murung dan menatap ke arahku. Sontak membuat aku sadar bahwa tidak seharusnya memandangnya seperti itu. 

    "Maafin kelakuan ibuku ya. Dia memang kadang suka caper kalo sama orang baru. Ayo diminum dulu tehnya"Kata wanita itu.

    Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

    "Bisa main gitar?"

    "Nggak bisa" kali ini aku harus berbohong. Tidak tentu saja aku tidak mau diminta untuk bermain gitar. Alasannya tentu aku malu dan tidak mau meninggalkan noda-noda pecundangku ke gitar milik wanita itu. 

    "Kalo gitu aku saja yang main" wanita itu beranjak pergi ke dalam. Sepertinya mengambil gitar dan benar saja. Wajahnya terlihat riang dengan gitar di genggamannya. Gitar itu bagus dan mengkilat. Aku tahu gitar jenis itu. Mereknya Tayor dengan motif kayu Mahoni. Ukurannya tiga perempat. Gitar itu juga dilengkapi dengan Capo. "Mau denger aku main lagu the Beatles yang judulnya Here Comes The Sun?". Aku sedikit ragu mendengarnya sebab lagu yang ditulis oleh George Harrisson itu agak sulit dimainkan, mengingat kuncinya bervariasi dan temponya cepat.   

    Masih dengan wajah gembira, wanita itu memasangkan Capo dan mulai memainkan lagu tersebut. Aku tercengang saat wanita itu memainkan intro lagunya. Suaranya terdengar bersih dan merdu. Aku menikmati setiap bunyi yang dihasilkan dari gitar. Kakiku mulai bergerak-gerak mengikuti ketukan  dan irama lagunya. 

    "Gimana? Bagus gak suaraku?" ujar wanita itu setelah selesai dengan lagunya. 

    Ingin sekali aku menjawab Marvelous, sungguh hebat sekali. Bagaimana kamu bisa memainkan lagu yang sesulit itu?. Ayo kita duet. Tapi aku urungkan, bagaiman mungkin aku bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu. Pecundang sepertiku tidak boleh sok asik ke orang-orang apalagi ke wanita. Aku putuskan untuk berkata "Bagus" lalu melempar senyum ke arahnya. 

    Di luar hujan sudah mulai reda. Aku memutuskan untuk memulai kembali mengotak-atik motor rongsok milikku. Aku coba engkol motor itu. Ajaib motor itu menyala seperti tidak ada kendala apa-apa. Segera aku matikan lagi karena takut suara berisiknya mengganggu sang ibu di dalam. 

    "Pamit dulu ya. Makasih banyak udah ngasih tempat neduh. Makasih juga buat teh manisnya. Maaf ngerepotin" Kataku. 

    "Buru-buru banget. Aku baru aja nyanyi satu lagu"Jawab wanita itu. 

    "Udah sore" 

    "Hmm..baiklah. Sebentar biar aku panggil ibu di dalam"Wanita itu pun pergi ke dalam. 

    Tak lama sang ibu datang dengan wajah yang terlihat sedikit heran "Udah mau pulang ya. Makasih ya udah nganterin anak ibu pulang. Jangan segan-segan untuk main ke sini lagi ya" 

    Aku mengiyakan tawaran tersebut walau kenyataannya sampai saat ini aku belum lagi dan mungkin akan berusaha untuk tidak bertemu dengan wanita itu lagi. Akan tetapi Itu adalah pertemuan yang membuat hidup seorang pencundang sepertiku menjadi lebih berkesan. Setidaknya sampai wanita itu menjadi milik orang lain. 

    Jika dipikir ulang, wanita itu tidak salah.  Ekspektasi diriku lah yang terlampau jauh. Kami hanya kebetulan dipertemukan tapi tidak ditakdirkan untuk saling melengkapi. Pecundang tetaplah pecundang. dan wanita cantik tetaplah milik si tampan.  Semoga kamu disana bahagia dan dijauhkan dari pecundang-pecundang sepertiku. 

    

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter