Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Cerpen : Jangan Sekolah

    


    

    Tumpukan-tumpukan papan tempe baru saja selesai disusun dan di kontrakan kecil itu aroma kedelai yang telah difermentasi dengan mudah mengisi setiap sudut ruangan.  Walaupun hari masih pagi sekali, Taroji sudah harus sibuk memindahkan tumpukan-tumpukan tempe tersebut ke keranjang yang telah dimodifikasi di motor bututnya. Lelaki berumur empat puluh tahun dengan postur ideal tersebut terlihat sangat sendu karena hari ini dia harus kembali berharap kepada Tuhan agar dagangan tempenya dapat laris di pasar nanti. 

    Setelah semuanya siap, Taroji  berpamitan dengan pelan kepada anaknya yang masih asik tidur di ranjangnya. Dia tak mau membangunkannya sebab dia mengetahui sang anak yang baru saja tidur jam tiga pagi dini hari tadi. Bukan karena membantunya mempersiapkan tempe-tempe yang akan dijual melainkan sibuk bermain gim di gawai pintarnya. 

    Suara knalpot bisingnya bergema di sela-sela pelewatannya di gang sempit. Beberapa orang menyapa Taroji dengan senyum hangat, ibu-ibu yang sedang menyapu jalan, seorang bapak-bapak yang hendak mengantarkan anaknya, pedagang sayur, dan masih banyak lagi yang menyapanya. Tempat pertama yang hendak dikunjungi Taroji adalah Pasar Gede, di sana terdapat banyak toko kelontong yang sering membeli tempe-tempenya. 

    Seperti di pasar-pasar lainnya, di sini ratusan pasang kaki telah memadati setiap jalan pasar. Bagi Taroji itu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Tangan kirinya sibuk memencet tombol klakson seketika kumpulan orang-orang di sekitar segera menepi  menghindari keranjang besar di motornya. 

    "Pagi Bu Rojah, pesen berapa tempe hari ini ?. 10 papan?, 20 papan?" Ujar Taroji setelah berhenti memarkirkan motornya di sebelah toko sayur. 

    "Pesan lima saja deh. Akhir-akhir ini orang pada mikir dua kali kalo mau beli tempe. Banyak yang ngeluh. Kemahalan katanya" Balas Bu Rojah si pemilik toko. 

    "Wahh gitu ya. Abisnya gimana ya. Harga kedelai sekarang lagi naik, Bu. Makannya harga tempe juga naik" Taroji pun langsung mengambil pesanan Bu Rojah di keranjang. 

    Setelah menerima uang dari  Bu Rojah, Taroji melanjutkan perjalannya ke sudut pasar lain untuk mengunjungi toko lain. Jaraknya tidak jauh dari Toko sayur Bu Rojah, kurang lebih 300 meter. Tujuannya kali ini adalah warteg Barokah. Belum selesai Taroji memarkirkan motornya, sang penjual langsung berteriak dari dalam toko. "Pesan tiga aja ya mang". Taroji pun langsung mengambil tiga papan tempe dan segera mengantarkannya ke dalam. Kali ini Dia tak sempat basa-basi seperti di toko Bu Rojah dan memilih untuk langsung pergi meninggalkan warteg itu setelah menerima uang. 

    Saat Taroji hendak melanjutkan berjualan kelilling lagi, dua orang anak berseragam sekolah lengkap melewatinya. Anak itu terlihat sangat ceria berbincang satu sama lain. Tak lepas pandangan Taroji ke arah anak sekolah itu. Mengingatkannya kepada Adit di rumah yang kini putus sekolah karena kondisi ekonomi. Sebagai seorang ayah tentu ia merasa bersalah dan gagal akan tetapi di lubuk hatinya yang paling dalam ada hasrat untuk kembali menyekolahkan Adit sehingga di masa depan nanti kelak Dia tidak menjadi seperti ayahnya yang hanya menjadi penjual tempe keliling. 

   Dengan  hasrat ingin kembali menyekolahkan anaknya, semangat Taroji meningkat drastis. Dia lanjut berkeliling dari Pasar Gede ke pasar-pasar lainnya. Toko ke toko dia hampiri untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Seiring waktu berjalan, keringat di tubuhnya terus mengucur membasahi kaos yang ia kenakan. Tubuhnya terlihat berminyak dan semakin legam karena paparan terik matahari. Namun sayang, sampai hari telah menjelang sore hanya satu keranjang tempe yang habis terjual. Keranjang lain masih penuh tak tersentuh lagi peminat. Taroji pun memutuskan untuk pulang. 

    Sesampainya di rumah, terlihat seorang lelaki beruban telah berdiri di depan pintu kontrakan dan sedang sibuk berbicara dengan Adit. Lelaki itu adalah Pak RT. "Nah, Kebetulan banget lo dateng Ji". 

    "Ada apa ya Pak RT?"Tanya Taroji sambil mengelap keringat di wajahnya. 

    "Si Adit mau sekolah lagi ga sih? ini dari tadi gue tanyain anaknya malah garuk-garuk kepala aje. Alhamdulilah nih gue dapet tawaran beasiswa buat anak-anak yang putus sekolah. Tiga tahun full gak bayar sampe lulus.  Makannye gua ke sini mau ngedata si Adit" Ucap Pak RT. 

    Mendengar penjelasan Pak RT tadi, seketika lelah Taroji hilang. Tanpa basa-basi, Dia pun langsung mengiyakan tawaran Pak RT. 

    "Yaude, nama Adit udah gua catet. Besok lu ke rumah gua ya bawa fotocopy Kartu Keluarga sama KTP" 

    Taroji langsung bergegas mengambi dokumen yang disebutkan oleh Pak RT dan berencana untuk langsung pergi ke tukang fotocopy. Namun sebelum pergi, dia menyempatkan untuk menelpon istrinya di kampung untuk memberitahu kabar baik ini. 

    "Hallo, Assalammualaikum, Buk" 

    "Wa'alaikumsalam..Iyo ono opo Pak?" Logat medok jawa sang istri terdengar keluar sayup-sayup dari ponsel. 

    "Alhamdulillah Adit mau sekolah lagi. Dapet bantuan beasiswa sekolah tiga tahun" 

    "Halah, si Adit ndak usah di sekolahi lagi. Anak pemalas. Nanti malah mubazir duit. Udah di kasih jajan sama seragam dan tetek bengeknya malah gak naik kelas. Ndak usah disekolahi lagi. Malu-maluin saja" Kata Istrinya dengan nada ketus. 

    Taroji hanya terdiam tak bisa berkata-kata setelah mendengar respon dari sang Istri. Adit yang sempat mendengar percakapan tadi hanya memainkan kuku jarinya dan memutuskan untuk melanjutkan bermain gim di kamar. Suasana menjadi hening, Taroji ingin sekali melawan kata-kata istrinya tadi tapi dia takut sang istri akan mengancamnya cerai lagi. Taroji gagal menyekolahkan lagi anaknya, menjadikan Adit seorang anak yang tertinggal pendidikannya. Dengan ini, sudah resmi bertambah satu anak tak berpendidikan di negeri ini. 

    

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter