Judul : Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : 2017
ISBN : 9786024246945
Rating : 4.6/5
"Gelap adalah bagian dari alam, kata Sang Penyair. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi"
Sudah lama betul rasanya tidak membeli buku karena disibukan dengan praktek mengajar di salah satu sekolah di kota saya tercinta ini. Belum lagi laporan lapangan yang menumpuk menagih saya untuk dikerjakan. Balas dendam pun akhirnya saya lakukan dengan pergi ke toko buku, mencari bacaan baru sekaligus melepas rindu di sana, dan tentunya sendirian. Dari rumah saya sudah merencanakan untuk membeli buku lanjutan dari serial "Bumi" karena buku itu sudah pasti ringan dibaca dan seru. Akan tetapi, tiba-tiba saja mata saya iseng melihat pojok best seller, Seketika rencana itu batal dengan membeli buku yang menguras rasa emosional ini.
Baru saja membuka bab prolog, kesedihan sudah mulai menyelimuti saya dengan dihadirkannya sebuah kematian dengan cara keji yang dialami oleh tokoh utama. Ya, benar, tokoh utama. Saya pun mencoba mengkontrol emosi itu dengan berpikir bahwa ini adalah cerita fiksi yang barangkali nanti ada sebuah keajaiban. Setidaknya itulah yang saya pikiran selama membaca jalan ceritanya.
Sesuai dengan judulnya tokoh utama dibuku ini adalah Laut, lebih tepatnya Biru Laut. Mengambil latar waktu kekejaman rezim pemerintahan Soeharto pada tahun 1990-1998, buku ini menghadirkan sebuah konsep cerita Historical Fiction yang berisikan tentang perjuangan segelintir mahasiswa di Yogyakarta untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
Seyegen menjadi tempat awal mula perjuangan Biru Laut dalam langkahnya memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Bersama dengan kawan-kawannya: Kinan, Sunu, Narendra, Daniel, Gusti, dan Alex, mereka menggerakan organisasi bernama Winatra yang rutin membangun diskusi tentang masalah-masalah politik sekaligus merencanakan sebuah gerakan protes di beberapa daerah sebagai respon dari kesemena-menaan pemerintah. Rumah di Seyegen dipilih oleh mereka sebagai tempat persembunyian karena tempatnya yang yang ideal dan jauh dari intaian intel. Seolah memberikan informasi kepada pembaca bahwa mahasiswa adalah musuh pemerintah dan menggambarkan sulitnya para mahasiswa mendiskusikan hal-hal yang menganggu kenyamanan pemerintahan Orde Baru.
Bab Blanguan dan Terminal Bungurasih adalah bab yang paling menjungkirbalikan emosi saya. Di kedua bab itu, saya dihadapkan dengan romansa cinta antara Anjani dan Laut di bibir Pantai Pasir Putih, lalu kejadian mendebarkan pada saat kawan-kawan Winatra dan Wirasena yang mencoba menyelamatkan tanah petani Blanguan dengan cara mencoba menanam jagung, dan aksi binatang para aparat yang berhasil menangkap Laut di Terminal Bungurasih.
"Dari jauh aku melihat ketiga monyet tersenyum-senyum menyaksikan kami yang sedang bermain air di tepi Pasir Putih" (hlm.123)
"Tentara sudah mulai masuk dan mengecek rumah-rumah para petani satu persatu. Suara mereka membentak-bentak samakin lama semakin terdengar" (hlm. 130)
"Setiap kali mereka merasa aku bohong, meski aku menjawab dengan jujur, maka Si Petugas yang berbahagia itu akan menyetrumku dengan semangat; dari menjerit histeris hingga akhirnya aku tidak sadar" (hlm. 170)
Namun, kesedihan yang intens dapat saya rasakan betul pada bab Asmara Jati. Asmara Jati sendiri adalah adik dari Biru Laut. Di bab ini, sudut pandang penceritaan diambil alih oleh Asmara. Dia menceritakan tentang bagaimana pada akhirnya harus dihadapkan kenyataan bahwa kawan-kawan Winatra dan Wirasena diculik paksa oleh aparat. Tentang para keluarga yang dihadapkan oleh ketidakpastiaan dimana anak-anaknya berada. Setiap keluarga mempunyai efek yang berbeda-beda pada segi pengaruh batin ketika berita kehilangan itu muncul tapi bagi saya keluarga Laut merupakan yang membekas di hati. Ibu Laut masih selalu mengadakan ritual masak bersama di hari minggu dan Bapak akan selalu menyiapkan piring kosong khusus untuk Laut, berharap putra sulungnya itu akan datang terlambat menyantap hidangan.
Tentu masih banyak lagi detil-detil peristiwa yang begitu menyayat hati di buku ini tapi saya memutuskan untuk tidak mengungkapkannya secara lengkap disini supaya ada kesan bagi kalian yang ingin membacanya nanti. Namun secara keseluruhan, buku ini mengajarkan saya tentang makna kehilangan yang seungguhnya. Selain itu buku ini mengingatkan saya tentang peristiwa-peristiwa yang menghilangkan beberapa aktivis di masa Orde Baru. Melalui beberapa penggambaran rintangan perjuangan mereka di buku ini, saya menyadari untuk lebih menghargai dan bersyukur terhadap kondisi yang tentunya sudah jauh lebih baik.
Dari segi pembawaan cerita, saya sangat menikmati pemilihan kata yang dibawakan oleh penulis. Menunggakan sudut pandang orang pertama dan tidak banyaknya cerita yang bertele-tele adalah poin plus untuk buku ini. Perlu kalian ketahui bahwa alur waktu yang digunakan dibuku ini adalah alur campuran, dimana pada fokus pembahasan alur cerita mundur akan ada potongan bagian yang membahas kejadian di masa depan.
Mungkin hanya itu saja yang saya dapat sampaikan mengenai pembahasan buku Laut Bercerita ini. Mohon maaf apabila ada salah dalam pemilihan kata dan berbagai kekurangan yang ada di sesi kali ini. Untuk menutupnya, saya akan menyampaikan sebuah sajak yang membuat buku ini menjadi hidup.
Matilah engkau mati
Kau akan terlahir berkali-kali.....
...
Seonggok jagung di kamar
Tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku
Dan tidak dari kehidupan...
....
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya..."
(Rendra, "Sajak Seonggok Jagung")
Posting Komentar
Posting Komentar