Judul : Janji
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Sabakgrip
Tahun Terbit : 2022
ISBN : 978-623-97262-0-1
Rating : 4.6/5
"Tapi sesungguhnya di manakah kebahagiaan itu hinggap? Di manakah hakikat kehidupan itu tersembunyi? Apakah seperti yang kita lihat dari luar saja?"
Lagi dan lagi akhirnya saya pergi ke toko buku Gramedia. Ini adalah bulan kedua setelah lama tidak main ke sana. Sepertinya saya sudah tahu bagaimana caranya untuk melepas beban pikiran dan kesedihan. Salah satunya adalah pergi ke toko buku, menyibukan diri memilih buku disana, dan tentunya sendirian. Tidak banyak teman saya yang sudi diajak kesana tapi tak apa lah, barangkali tahun depan saya bisa mengajak orang spesial ke sana. Mungkin pacar. Baiklah ini sudah terlalu jauh dengan konteks. So langsung saja kita masuk kepada pembahasan isi bukunya.
Saya mengetahui buku ini ketika hendak memilih buku di salah satu platform belanja online. Waktu itu masih dalam tahap pre-order dan belum ada yang mereview bukunya. Jujur saya tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendapatkan buku jadi batal lah saya untuk membelinya padahal ada banyak tambahan merchandise seperti tote bag dan stiker jika membelinya secara pre-order. Sampai akhirnya berjodohlah saya dengan buku ini di Gramedia.
Jika kalian penggemar berat Tere Liye pasti kenal dengan salah-satu bukunya yang berjudul "Tentang Kamu". Saya punya pandangan bahwa buku "Janji" ini memiliki konsep ide penulisan yang hampir mirip dengan judul buku itu. Dimana di dalamnya bercerita tentang mencari atau menapaktilasi perjalanan hidup seseorang. Namun tentu saja dari segi jalan cerita dan nilai-nilai kehidupan yang dihadirkan sangatlah berbeda. Di review buku kali ini lah saya akan memberikan gambaran dari kedua segi aspek tersebut.
Sinopsis
Cerita dimulai ketika tiga santri bernama Hasan, Kaharudin, dan Baso mendapatkan hukuman dari Buya karena telah membuat ulah disalah satu penyambutan orang terpandang yang datang ke sekolah agamanya. Alih-alih memberi hukuman fisik Buya justru memberikan mereka bertiga tugas untuk meneruskan wasiat dari Ayah Buya yang belum sempat terpenuhi. Wasiat itu berisikan untuk mencari seorang murid yang pernah diusir oleh ayahnya, murid bernama Bahar Safar. Murid yang terkenal paling nakal di sekolah saat itu. Dia pemabuk, pejudi, serta pembuat onar. Seseorang yang pernah membakar ruangan santri sampai memakan korban jiwa hanya karena ingin keluar dari sekolah agama itu.
Kita mungkin akan berpikir sejenak, untuk apa anak seperti itu dicari-cari dan bukankah murid seperti itu layak untuk pergi selamanya?. Adalah mimpi Ayah Buya jawabannya. Mimpi bukan sembarang mimpi, mimpi seorang ulama, mimpi yang mempunyai pesan dari Sang Pencipta. Di mimpi itu Bahar si pemabuk, pejudi, pembunuh tiba-tiba membantu Ayah Buya melewati tempat dimana manusia diadili seadil-adilnya.
Mimpi itulah yang membuat Kahar, Hasan, dan Baso diminta untuk mencari Bahar. Mencaritahu perjalanan hidup Bahar selama 40 tahun. Di dalam pencarian itulah mereka bertemu beberapa orang yang kenal dekat dengan Bahar. Orang-orang itulah yang akan memberitahu tentang potongan perjalanan hidup Bahar. Setiap orang yang mereka temui tentu mempunyai cerita-cerita yang berbeda dan disitulah letak keseruannya.
Setidaknya ada empat peristiwa penting penuh makna yang diberikan di buku ini tentu saya tidak akan membahasnya satu persatu. Saya akan memberikan kesempatan pada kalian yang hendak membeli buku ini agar tidak terkesan memberikan terlalu banyak spoiler. Akan tetapi saya punya satu peristiwa favorit yang memberikan makna sangat dalam, yaitu saat Bahar bekerja di pasar.
Penceritaan kehidupan Bahar di pasar diberikan oleh seseorang bernama Asep. Asep merupakan orang yang cukup akrab dengan Bahar. Walaupun Asep buta akan tetapi dengan kepekaan indranya dia mengetahui banyak perbuatan-perbuatan Bahar kala itu.
Bahar masihlah seorang pemabuk dan pejudi. Dia melakukan itu hampir tiap malam. Profesinya hanya seorang buruh angkut serabutan. Tidak punya cukup uang untuk menyewa kontrakan memaksanya tidur dilorong-lorong pasar. Asep lah yang membantunya menawarkan tempat tinggal berupa bedeng (rumah semi-permanen). Saat itu Asep merasa kasihan dengan Bahar yang kondisinya mabuk dan tepar di halte. Saat itu juga mereka saling kenal karena bertetangga.
Perangai buruk yang dimiliki Bahar membuat tetangga sekitar menjauhinya, bahkan tak sedikit yang menggunjing dirinya. Akan tetapi disamping perangai buruknya itu Bahar menyimpan kepedulian terhadap tetangga-tetangganya. Dia pernah memperbaiki genting tetangganya yang bocor dengan menutupnya menggunakan potongan asbesnya dan itu dia lakukan diam-diam. Lalu, dia pernah memberikan seluruh uang hasil bekerjanya seharian untuk membayar anak tetangganya yang demam. Dia dibenci tapi dia tidak membenci. Namun itu belum seberapa, jika kalian nanti sampai pada bab kehidupan Bahar di Pasar, kalian akan menemukan kebaikan Bahar yang jarang ditemukan. Sebuah kebaikan yang menguras pengorbanan.
Itu adalah salah satu bagian favorit saya. Bukan Tere Liye jika beliau tidak menghadirkan banyak makna-makna yang dapat dipetik. Termasuk dikaryanya yang satu ini. Pada sesi selanjutnya saya akan membahas nilai-nilai yang saya dapatkan di buku Janji.
Berpegang Teguh pada Prinsip
Bahar memang mempunyai sifat buruk. Dia gemar minum-minuman keras, pejudi, dan watak yang keras. Namun dia punya prinsip-prinsip yang kokoh. Prinsip yang paling kontras tentunya adalah selalu menolong orang tanpa pamrih dan tanpa memandang latar belakang orang yang ditolongnya. Selain itu, prinsip yang saya sukai dari Bahar adalah berusaha berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak mau bergantung pada orang-orang disekitarnya. Selagi dia bisa melakukannya sendiri maka dia tidak perlu bantuan, sekalipun sebenarnya itu bisa membuatnya mendapatkan jalan pintas untuk apa yang dia inginkan.
"Tapi di luar itu, ada hal yang menarik dari Bahrun (Bahar). Yang membuatku belajar banyak hal. Dia selalu menyanyangi orang-orang yang lemah dan teraniaya...Betapa kokohnya dia melakukan itu" (hlm 187)
"Sipir senior itu masih mendengar kalimat Bahrun yang gagah, dia siap bertarung sampai mati untuk melindunginya" (hlm.235)
Posting Komentar
Posting Komentar